Diposkan pada pelajaran

Laporan Analgetik-adanya laporan ini, untuk jadi referensi dan dipahami bukan Copy paste lalu selesai!

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1  Latar Belakang

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, berhubungnan dengan adanya potensi kerusakan jarinngan atau kondisi yang menggambarkan kerusakan tersebut, sehingga dapat menjadi penanda ada tidaknya kelainan atau penyakit pada organ yang mengalami nyeri tersebut. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.

Adapula obat yang dapat digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, dan akhirnya memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita disebut dengan analgetik. Analgetik juga merupakan zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghalangi kesadaran. Analgetik terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan narkotik dan non narkotik (antiinflamasi non steroid-AINS). Untuk melihat hubungan dosis-respon pereda nyeri, maka dilakukan praktikum ini.

 

1.2  Tujuan Praktikum

  • Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesik suatu obat
  • Mampu mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibat pemberian berbagai dosis analgetika
  • Mampu membuat kurva hubungan dosis-respon

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

 

2.1 Rasa Nyeri

Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri yang dimilliki setiap orang berbeda-beda. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-450 C. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum.

Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis,  apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan jaringan lainnya. Nouceptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang sangat banyak melalui sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls dilanjutkan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.

Adapun mediator nyeri yang disebut juga autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, lekotrien dan prostaglandin. Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstan.

Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Adapun mediator nyeri yang disebut juga sebagai autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, leukotrien dan prostglandin2.

 

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1)      Fase antisipasi—–terjadi sebelum nyeri diterima.

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena  fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinnkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

Contoh: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi.

2)      Fase sensasi—–terjadi saat nyeri terasa.

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upay pencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan  gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3)      Fase akibat (aftermath)——terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Ada lima klasifikasi dan jenis nyeri:

  1. Nyeri akut, yang dapat ringan, sedang, atau berat
  2. Nyeri kronik
  3. Nyeri superfisial
  4. Nyeri somatik (tulang, otot rangkam dan sendi)
  5. Nyeri viseral, atau nyeri dalam.

 

2.2     Analgesik

Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa meghalangi kesadaran.  Analgesik, baik nonnarkotik maupun narkotik, diresepkan untuk meredakan nyeri. Nyeri yang ringan sampai sedang dari otot rangka dan sendi seringkali diredakan dengan pemakaian analgesik nonnarkotik. Nyeri yang sedang sampai berat pada otot polos, organ, dan tulang biasanya membutuhkan analgesik narkotik.

  1. Analgesik nonnarkotik

Analgesik nonnarkotik tidak bersifat adiktif dan kurang kuat dibandingkan dengan analgesik narkotik. Obat-obat ini dipakai untuk mengobati nyeri yang ringan sampai sedang dan dapat dibeli bebas. Obat-obat ini efektif untuk nyeri tumpul pada sakit kepala, dismenore (nyeri menstruasi), nyeri pada inflamasi, abrasi minor, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang. Kebanyakan dari analgesik menurunkan suhu tubuh yang meningkat, sehingga mempunyai efek antipiretik. Beberapa analgesik seperti aspirin, mepunyai efek antiinflamasi dan juga anti koagulan.

Obat analgesik antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs).

Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis Prostaglandin ini mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu.Setiap obatmenghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.

Prinsip pengujian efek analgetik secara eksperimental pada hewan percobaan adalah mengukur kemampuan obat untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensasi nyeri yang ditimbulkan secara eksperimental, yang timbul dengan cara-cara fisik ataupun cara-cara kimia.Metode yang digunakan pada percobaan kali ini adalah metode jentik ekor (Tail Flick) dan metode pelat panas (Hot Plate).

  1. Analgesik narkotik

Analgesik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Toleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis. Karena dapat menimbulkan ketergantungan, obat golongan ini penggunaannya diawasi secara ketat dan hanya untuk nyeri yang tidak dapat diredakan oleh AINS.

Analgesik narkotik, disebut juga agonis narkotik, diresepkan untuk mengatasi nyeri yang sedang sampai berat. Di Amerika Serikat, Undang-Undang Narkotik Harrison tahun 1914, menyatakan bahwa semua bentuk opium harus dijual dengan resep dan tidak dapat lagi tanpa resep. Undang-Undang Substansi yang Dikontrol tahun 1970 mengklasifikasikan obat-obat yang dapat menimbulkan adiksi ke dalam lima kategori berdasarkan potensinya untuk penyalahgunaan.

Analgesik narkotik bekerja terutama pada sistem saraf pusat, sedangkan analgesik nonnarkotik bekerja pada sistem saraf tepi pada tempat reseptor nyeri. Narkotik tidak hanya menekan rangsanga nyeri tetapi juga menekan pernapasan dan batuk pada medulla di batang otak. Salah satu contoh dari narkotik adalah morfin, yang merupakan analgesik kuat yang dapat dengan cepat menekan pernapasan. Kodein tidak sekuat morfin, tetapi dapat meredakan nyeri yang ringan sampai sedang dan menekan batuk. Kodein juga dapat diklasifikasikan sebagai penekan batuk (antitusif). Banyak narkotik mempunyao efek antitusif dan antidiare, selain dari kemampuannya meredakan nyeri.

Nyeri minimal disebabkan oleh dua hal, yaitu iritasi lokal (menstimulasi saraf perifer) dan adanya persepsi (pengenalan)nyeri oleh SSP. Pengenalan nyeri bersifat psikologis terhadap adanya nyeri lokal yang disampaikan ke SSP. Analgetik narkotik mengurangi nyeri dnegan menurunkan persepsi nyeri atau menaikkan nilai ambang rasa sakit. Analgetik narkotik tidak memengaruhi saraf perifer, nyeri tetap ada tetapi dapat diabaikan atau pasien dapat mentolerirnya. Untuk mendapatkan efek yang maksimal analgetik narkotik harus diberikan sebelum nyeri yang hebat datang, seperti sebelum tindakan bedah.

Semua analgetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat, tetapi potensi, onzet, dan efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif maupun kuantitatif. Efek sampingnya yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan hipotensi serta depresi pernapasan. Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih digunakan di Indonesia:

– morfin HCl

– kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol)

– fentanil HCl

– petidin, dan

-tramadol

Khusus untuk tramadol secara kimiawi memang tergolong narkotika tetapi menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan menimbulkan ketergantungan kecil.

Perbedaan analgetik nonnarkotik dan narkotik

No. Analgetik nonnarkotik Analgetik narkotik
1. Menghilangkan nyeri ringan sampai sedang Menghilangkan nyeri ringan sampai hebat
2. Secara kimia bukan steroid Secara kimia steroid (turuna opium)
3. Menghambat Cox1 ­dan Cox2 Tidak menghambat Cox1 ­dan Cox2
4. Tidak menyebabkan toleransi/ ketergantungan fisik pada pemakaian jangka panjang. Menimbulkan toleransi/ ketergantungan fisik pada pemakaian jangka panjang.
5. Bekerja di perifer dengan menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator timbulnya rasa nyeri Bekerja di pusat rasa nyeri yaitu melalui reseptor opioid
6. Merupakan senyawa heterogen karena struktur kimia senyawa NSAID berbeda-beda. Contoh aspirin dengan asetaminofen, asam mefenamat dengan ibuprofen mempunyai struktur yang berbeda Meerupakan senyawa homogen karena merupakan golongan narkotika kecuali tramadol
7. Efek samping penggunaan jangka panjang dapat merangsang sekresi asam lambung dan  menurunkan aliran darah ke ginjal Efek samping akibat penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan konstipasi karena di saluran pencernaan juga terdapat reseptor opioid yaitu reseptor σ, Ƙ, µ

 

 

 

2.3 Tramadol

Tramadol adalah analog kodein sintetik yang meruapakan agonis reseptor μ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau mepedrin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan mepedrin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonates.

Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Afinitas terhadap reseptor μ hanya 1/6000 morfin, akan tetapi metabolit utama hasil demetilasi 2-4 kali lebih poten dari obat induk dan berperan untuk menimbulkan efek analgetiknya. Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif dari masing-masing enansiomernya.Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor μ dan menghambat ambilan serotonin.Enansiomer (-) menghambat ambilan norepinefrin dan merangsang reseptor α2– adrenergik. Tramadol mengalami metabolism di hati dan eksresi oleh ginjal,dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam stetelah penggunaaan secara oral, dan mencapai puncak selama 2-3 jam. Lama analgesia selama sekitar 6 jam. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.

Efek samping yang umum terjadi adalah mual, muntah, pusing, sedasi, mulut kering, dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein. Tramadol dapat meyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi. Analgesia yang ditimbulkan oleh tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.

 

2.4 Dasar-dasar Kerja Obat

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. proses tersebut dinyatakan sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.

 

Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantunng pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Jumlah obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang menentukan bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.

Faktor-faktor tersebut antara lain :

  1. cara preparasi dan bentuk sediaan
  2. ukuran molekul
  3. kelarutan molekul dalam lipid : yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya lebih tinggi
  4.  kelarutan dalam air dan lipid : yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat baik; yang larut hanya dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah terdisosiasi.
  5. transport aktif
  6. interaksi dengan makanan atau obat lain
  7. stabilitas di dalam usus
  8. pengosongan lambung
  9.  adanya metabolisme dalam usus dan di dalam hati
  10. Faktor individu pasien itu sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien.
  11. Derajat ionisasi
  12. Dosis dan waktu pemberian obat
  13. pH dan pK
  14. luas permukaan absorpsi
  15. aliran darah

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aksi Obat

1.      Berat badan

2.      Umur

3.      Jenis kelamin

4.      Kondisi patologik pasien

5.      Genetik (Idiosinkrasi)

6.      Cara pemberian obat :

  • Yang memberikan efek sistemik : – oral; sublingual; bukal;-parenteral;- implantasi subkutan; rektal;
  • Yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal (pada kulit): salep, krim , lotion ; – obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga.

Kebanyakan obat merupakan electrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa lemah, pH yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan oabt0obat yanng strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif memerlikan membran agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.

Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri.

Untuk mencapai sel target, suatu obat harus dapat menembus sawar biologic, dapat berupa membrane yang terdiri atas satu atau beberapa sel. Pada sawar darah otak, obat-obatan yang larut dalam air sulit melewatinya dan pada sawar plasenta hanya obat-obatan dengan BM besar (seperti heparin, plasma sekunder) sukar masuk fetus.

Oleh karena molekul protein plasma cukup besar, maka hanya fraksi obat bebas saja yang mempunyai arti klinis, karena bagian tersebut yang dapat mencapai reseptor pada organ sasaran (termasuk bakteri). Protein plasma yang berikatan dengan molekul obat terutama adalah albumin(A), disamping itu protein lain juga berperan, misalnya alfa amino globulin (AAG) dan lipoprotein (LP) pada keadaan tertentu.

Eliminasi
Proses eliminasi bertanggung jawab atas durasi atau lamanya obat berefek dengan cara mengusahakan agar obat dapat segera dikeluarkan dari tubuh, temasuk ke dalam alat eksresi seperti ginjal, hati dan paru. Agar obat mudah dieksresi, kadang-kadang obat harus diubah lebih dahulu menjadi senyawa lain yang bersifat tidak mudah larut dalam lemak baru dieksresi. Proses metabolisme dan eksresi secara merupakan proses eliminasi.

Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan struktur perubahan kimia yang tejadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada poses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan kurang larut dalam lemak sehingga mudah dieksresi melalui ginjal.

Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan lain-lain. Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam hati tidak mengalami peubahan atau hanya sebagian yang diubah. Hal tesebut menyebabkan efek obat berlangsung lebih lama dan obat menjadi lebih toxic.

Metabolisme obat di hepar terganggu oleh adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis kaena pada keadaan-keadaan tesebut terjadi kerusakan sel parenim hati serta enzim-enzim metabolismenya. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolism di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan alir darah hepar, baik oleh obat maupun gangguan kardiovaskular, akan mengurangi metabolisme obat di hati.

Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit yang polar diekskresi lebih cepat daripada obat yang larut baik dalam lemak, kecuali pada eksresi melaui paru-paru.

Ginjal merupakan organ eksresi yang terpenting. Metabolit yang larut dalam air sukar direabsorpsi oleh tubuli ginjal, sehingga akan dikeluarkan bersama-sama urine. Sebaliknya, obat yang mudah laut dalam lemak jika sudah berada dalam tubuli ginjal sebagian besar direabsorpsi oleh tubuli ginjal. Obat yang tidak dapat difiltasi oleh glomerulus bisa disekresi oleh ginjal melalui sekresi tubulus. Jadi proses eliminasi oleh ginjal (ekskresi) meupakan hasil dari proses-proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus. Bila fungsi ginjal rusak sedangkan obat harus dikeluarkan melalui ginjal maka eksresinya tidak sempurna dan memudahkan terjadinya keracunan. Hasil ekskresi dapat berupa urine, air ludah, air susu, air mata, keringat dan lain-lain

 

2.5 Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit binding site ) disebut antagonis.

  1. Obat berikatan dengan reseptor

Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor.

Sebagian besar reseptor adalah protein karena struktur polipeptida memberikan perbedaan corak dan kekhususan yang diperlukan dari bentuk dan muatan listrik. Reseptor obat yang paling baik adalah protein regulator, yang menjembatani kerja dan sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti: neurotransmitter, autacoids, dan hormone. Kelompok reseptor ini menjembatani efek dari sebagian besar agen terapeutik yang paling bermanfaat. Struktur molekuler dan mekanisme biokimia reseptor regular ini menggunakan lima mekanisme dasar sinyalisasi transmembran yang masing-masing menggunakan strategi/ pendekatan yang berbeda untuk menghindari halangan yang disebabkan oleh dua lapisan lemak (bilayer lipid) membran plasma. Strategi pendekatan ini menggunakan:

  1. Ligan (senyawa kimia) larut lemak yang melintasi membrane dan bekerja pada reseptor intraseluler (yang mungkin adalah enzim atau pengatur transkripsi gen).
  2. Protein reseptor transmembran yang aktivitas enzimatik intraselulernya diatur secara allosterical oleh ligan yang terikat pada tempat di domain ekstraseluler protein. Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler protein transmembran, sehingga mengaktifkan aktivitas enzimatis domain sitoplasmiknya.
  3. Reseptor transmembran yang mengikat dan menstimulasi protein tyrosine kinase.
    Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler reseptor transmembran yang terikat pada protein kinase tyrosine, yang diaktifkannya.
  4. Kanal ion transmembran yang ligand-gated, yaitu kanal ion yang pembukaan/ penutupannya dapat diinduksi oleh ligan yang terikat pada reseptor kanal ion tersebut. Sinyal tersebut terikat dan langsung mengatur pembukaan saluran ion.
  5. Protein reseptor transmembran yang menstimulasi transduktor yang memberi sinyal setelah berikatan dengan GTP (protein G) yang kemudian menimbulkan pembawa pesan kedua. Sinyal tersebut terikat pada reseptor permukaan sel yang dihubungkan pada enzim efektor oleh protein G.

Kelompok protein lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga termaasuk enzim, yang mungkin dihambat (atau, yang kurang umum, diaktifkan) dengan mengikat obat (misalnya dihydrofolate reductase, reseptor untuk obat antikanker methotrexate), protein pembawa (transport protein) (misalnya, Na+/ K+ ATPase, reseptor membran untuk digitalis, glycoside yang aktif pada jantung) dan protein structural (misalnya, tubulin, reseptor untuk colchicine, agen antiinflamasi). Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen hidrofobik, van der walls, atau kovalen , tetapi umumnya merupakan campuran dari berbagai ikatan di atas.

Konsep reseptor ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting untuk perkembangan obat dan pengambilan keputusan terapeutik dalam praktek klinik.

  1. Pada dasarnya reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek farmakologi: afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk kompleks obat- reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat.
  2. Reseptor bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat : ukuran, bentuk dan muatan ion elektrik molekul obat menentukan apakh-dan dengan kecocokan/kesesuaian yang bagaimana- molekul itu akan terikat pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan yang secara berbeda. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara dramatis/ mencolok dapatmenaikan atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap gollongan-golongan reseptor yang berbeda, yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam efek terapi dan toksiknya.
  3. Reseptor- reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi: efek antagonis di dalam tubuh pasien bergantung pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya. Beberapa obat bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam pengibatan klinik.

Spesifisitas dan Selektivitas

Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjabya terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan sendirinya tidak selektif.

B. Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor

-Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran

-Perubahan sifat osmotik

-Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretic.

-Perubahan sifat asam/basa

Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.

-Kerusakan nonspesifik

Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan kontrasepsi. contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.

-Gangguan fungsi membrane

Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.

-Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion

Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.

-Masuk ke dalam komponen sel.

Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

2.6 KONSENTRASI DAN RESPON OBAT

Hubungan antara konsentrasi obat dan respon obat, respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek oabat digambarkan dengan kurva hiperbolik menurut persamaan sebagi berikut:

E= di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah respons maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek maksimal.

Hubungan antara konsentrasi dan efek obat (panel A) atau obat yang terikat reseptor (panel B). Konsentrasi obat yang efeknya separuh maksimum disebut EC50 dan konsentrasi obat yang okupansi reseptornya separuh maksimum disebut KD.

Hubungan dosis dan respons bertingkat

  1. Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
  2. Potensi.Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang lebih besar.
  3. Slope kurva dosis-respons. Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar.

 

 

 

 

BAB III

METODELOGI PRAKTIKUM

3.1  Alat dan Bahan

  • Mencit 2 ekor
  • Taramadol 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB
  • Timbangan hewan
  • Alat suntik
  • Alat untuk pengujian
  • Stopwatch

3.2  Prosedur pengerjaan

  1. Metode hot plate

Rangsang nyeri yang digunakan berupa lantai kandang yang oanas (550-560). Rasa nyeri panas pada kaki mencit menyebabkan respon mengangkat kaki depan dan dijilat. Rata-rata hewan mencit akan memberikan respon 3 sampai 6 detik.

  1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat
  2. Sebelum pemberian obat catat dnegan menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk mengangkat dan menjilat kaki depannya sebagai waktu respon, catat sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan
  3. Suntikkan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit
  4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 45 setelah pemberian obat
  5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap
  6. Gambarkan suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulasi nyeri.
  7. Metode tail flick

Rangsang nyeri digunakan dalam metode ini berupa air panas dengan suhu 500C dimana ekor mencit dimasukkan kedalam air panas akan merasakan nyeri panas dan ekor dijentikkan keluar dari air panas tersebut

  1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat
  2. Sebelum pemberian obat catat dengan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk menjentikkan ekornya keluar dari air panas. Tiap rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali selang 1 menit. Pengamatan pertama diabaikan, hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus.
  3. Suntikkan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit.
  4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 45 setelah pemberian obat. Jika mencit tidak menjentikkan ekornya keluar air panas dalam waktu 10 detik, maka dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus tersebut
  5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap
  6. Gambarkan suatu kurva hubungan amtara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

 

3.3  Hasil Praktikum

  1. Perhitungan dosis

Metode Hot Plate

Kel II à VOA =  0,028 ml

Kel IV à VOA =  = 0,064 ml

Kel V à VOA =  = 0,081 ml

Metode Jentik Ekor (Tail Flick)

Kel II à VOA = = 0,032 ml

Kel IV à VOA = = 0,050 ml

Kel V à VOA =  0,090 ml

  1. Pengamatan pada mencit kelompok II

Metode Hot Plate

Mencit BB (kg) Dosis (VAO) Pengamatan
Sebelum 5’ 15’ 30’ 45’
Kel II 0,028 kg 0,028 ml 1,26” 0,8” 1,41” 1,32” 1,14”
Kel IV 0,032 kg 0,064 ml 1,03” 5” 3,3” 3,6” 7”
Kel V 0,027 kg 0,081 ml 2, 12” 3,46” 4,73” 3,99” 2,94”

 

 

 

 

Metode Jentik Ekor (Tail Flick)

Mencit BB (kg) Dosis (VAO) Pengamatan
Sebelum 5’ 15’ 30’ 45’
Kel II 0,032 kg 0,032 ml 3,3” 3,1” 4,8” 6,5” 7,5”
Kel IV 0,025 kg 0,050 ml 6” 5,3” 9” 29” 12”
Kel V 0,030 kg 0,090 ml 1,8” 2,77” 4,7” 4,58” 5,04”

 

Kurva Metode Hot Plate                                        Kurva Metode Tail Flick

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.4   Pembahasan

Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian efek analgetik pada hewan percobaan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan obat dalam hal ini, obat yang digunakan adalah tramadol dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensari nyeri. Untuk memberikan sensasi nyeri, ditimbulkan secara eksperimental dengan 2 prosedur, yakni secara Hot plte dan Tail flick. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit.

Tramadol adalah salah satu obat anagetik (mirirp morfin) yang bekerja secara sentral pada SSP sehingga memblok sensasi rasa nyero dan respon terhadap nyeri. Disamping itu, juga menghambat pelepasan Neuritransmitter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsangan, akibatnya impuls nyeri terhambat. Parameter yang digunakan dalam pengamatan ini adalag waktu ketahanan mencit terhadap stimulasi panas yang dihasilkan dengan metode hot plate dan tail flick. Pada nyeri neuropati akan timbul gejala hiperalgesia, yang ditunjukan dengan penurunan waktu ketahanan pada mencit terhadap stimulasi panas yang diberikan. Tramadol mempunyai dua mekanisme yang berbeda pada menejemen nyeri yang keduanya bekerja secara sinergis, yaitu: tramadol mempunyai bioavailabilitas 70% sampai 90% pada pemberian oral, serta dengan pemberian dua kali sehari dapat mengendalikan nyeri secara efektif.

Pada metode hot plate dengan dosis 50 mg/kg BB, mencit tidak merasakan kehilangan rasa nyeri yang berarti dari keadaan normalnya dengan setelah diberikan obat tidak ada perbedaan signifikan pada respon nyerinya. Seharusnya setelah diberi obat respon nyeri lebih lama dirasakan mencit dari pada sebelum pemberian obta. Tetapi yang terjadi adalah kurva tidak teratur dan respon lebih cepat dari keadaan normalnya. Untuk dosis 100 mg/kg BB, menit ke 5 dan 45 terjadi penundaan respon nyeri tetapi anehnya ketika menit ke 15 dan 30 kurva malah turun/lebih cepat respon nyeri yang dirasakan mencit. Seharusnya mencit kehilangan respon nyeri pada menit-menit awal misal menit ke 5 sampai menit ke 30, tetapi dimenit ke 45 kecepatan respon harus meningkat karena efek kerja obat sudah hilang. Hal tersebut cocok untuk dosis 150 mg/kg BB, dari keadaan normal sampai setelah pemberian obat terjadi perlambatan respon nyeri. Paling tinggi/paling lama respon nyeri diberikan adalah pada menit ke 15, tetapi ketika menit ke 30 dan 45, respon nyeri mulai cepat, hal tersebut menandakan efek obat hanya bertahan 15 menit.

Pada metode tail flick dengan dosis 150 mg/kg BB, kurva (jika dianilisis dari kurva) berjalan naik terus yang berarti kecepatan respon nyeri terus melambat dari keadaan sebelum diberikan obat, hanya pada menit ke 30 respon menjadi cepat. Mungkin hal tersebut disebabkan kesalahan respon terjadi lebih cepat dari pada keadaan sebelum diberikan obat, setelahnya respon terus melambat hingga menit ke 30, pada menit ke 45 respon menjadi cepat, yang menandakan efek obat mulai berkurang. Sedangkan kenaikan respon pada menit ke 5 bisa disebabkan obat yang belum bekerja, praktikan yang salah dalam pengamatan,  atau panas pada hot plate terlalu panas (tidak sama panas yang digunakan dalam percobaan yang satu dengan yang lainnya). Untuk dosis 50 mg/kg BB respon terus melambat.

Kurva yang tepat adalah yang mengalami masa puncak lau turun (bentuk seperti segitiga) hal tersebut menandakan obat bekerja dengan baik didalam tubuh, awal kerja terus terjadi peningkatan, setelah termetabolisme didalam tubuh obat mengalami eliminasi sehinga efek obat perlahan menurun hingga hilang sama sekali. Untuk efek yang tidak stabil bisa saja disebabkan kesalahan praktikan dalampengamatan, panas pada hot plate dan gelas ukur berisi air yang tidak stabil, mencit yang resisten terhadap obat, dll.

Hubungan dosis-respon adalah berbading lurus dengan intensitas efek obatnya. Semakin besar dosis yang diberikan semakin cepat obat memberikan efek, karena obat yang didistribusikan lebih banyak sehingga banyak obat yang menduduki reseptor. Namun, obat yang dosisnya terlalu besar dapat mendekati atau malah telah berubah menjadi toksik didalam tubuh, sedangkan dosis obat yang terlalu kecil tidak akan memberikan efek terapi yang berarti, karena obat yang didistribusikan terlalu sedikit sehingga tidak cukup banyak menduduki reseptor yang ada. Hal ini dijelaskan pada praktikum ini dengan perbandingan yang berbeda-beda. Obat dengan dosis 50 mg/kg BB lebih sedikit atau tidak terlihat sama sekali telah memberikan efek pada mencit, sedangkan obat dengan dosis 100 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB lebih cepat dan terlihat memberikan efek menghilangkan nyeri pada mencit.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN

  1. Tramadol termasuk golongan obat analgetik narkotik/opioid
  2. Efek obat yang diberikan kepada mencit berbeda-beda, tergantung dosis yang diberikan, karena intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang didudukinya.
  3. Rata-rata analgetik  menghasilkan efek analgetik yang sempurna dimenit 30, diatas meint 30 efek analgetik sudah mulai berkurang (pada percobaan)
  4. Semakin besar dosis obat yang diberikan, efek analgetik semakin lama atau besar, tetapi dapat pula menimbulkan toksik, maka pemberiannya harus terus melalui pemantauan.
  5. Respon nyeri tiap mencit berbeda karena faktor genetik mencit, kondisi fisik, tingkat stress mencit, dan perbedaan dosis.
  6. Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:

Impuls nyeri à medula spinalis à batang otak & talamusà Sistem syaraf otonom à Respon fisiologis & perilaku

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/07/gg.html#ixzz2iXAzgCX8.23/10/2013

http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/20/respon-terhadap-nyeri/.23/10/2013

http://4uliedz.wordpress.com/category/farmakologi/.23/20/2013

Priyanto, L. Batubara. 2008. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan, edisi II. Depok: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (Lenskofi)

Anonim. 1999. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Jakarta: Depkes RI

mi.scribd.com/doc/3980055/laporan-praktikum-farmakologi. 18/10/2012

faridaudhughdamen-curcol.blogspot.com/2012/09/analgetik.html. 18/10/2013

dho-e.blogspot.com/2012/01/analgesik-antipiretik-dan-nsaid.html. 18/10/2013

id.scribd.com/doc/39180055/LAPORAN-ANALGETIK-DAN-HUBUNGAN-DOSIS-RESPON#download.18/10/2013.

 

Penulis:

write-read-learn-do

Tinggalkan komentar