Diposkan pada motivation self-help story

JUAL ANEKA PAKAIAN dengan berbagai STYLE. khususnya untuk ladies

DEAR ALL MY READER
ekhm… sudah hampir satu tahun nih saya buka OLSHOP. nyambi-nyambi kuliah gtu deh..
buat yang lagi nyari pakaian murah harga grosiran tapi berkualitas dan ga perlu nyetok banyak buat dapeti harga murah. Saya JUAL NIH…
sayangnya.. karena keterbatasan waktu, jadi g bisa upload di website.
kalo ada yang tertarik silahkan aja nih kunjungin FACEBOOK saya, dengan akun “Syafira Sabili” yang make OWL sbg profil Fotonya (saat ini). pokoknhya nnti diliat aja yaa.. https://www.facebook.com/syafirasabili.
selain di facebook, saya juga buka toko di BB dan WHATS APP.
nah yang berminat silahkan email atau minta pin BB/nomer Hp ke akun FB yaaa…

kalau di website, takut ada penjahat. Insya Allah, barang-barang yang saya jual terpercaya. BIAR SAMA-SAMA ENAK MARI KITA SALING PERCAYA. ALLAH MAHA TAHU LOOH
HAPPY SHOPPING SISTAAA 😀

Diposkan pada pelajaran

Makalah Difusi Obat dalam Tubuh_Farmasi Fisika

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Dunia farmasi senantiasa memperbaharui sediaan obat supaya mampu menjadi suatu produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya, sebagai seorang farmasis kita harus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.

Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami soroti disini yaitu mengenai difusi suatu zat. Dimana ini merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia. Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi, yakni suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Lalu bagaimana jika kesetimbangan ini tidak tercapai?

Melihat pentingnya difusi dalam suatu sediaan maka dibuatah makalah ini sebagai suatu manfaat dan pengetahuan bagi para farmasis.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Fisik

2. Mengetahi dan memahami difusi dalam dunia farmasi

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

2.1  Sifat membran

Rintangan atau sawar yang dihadapi zat aktif sebelum mencapai titik-tangkap atau sebelum mengalami perubahan atau peniadaan, tampaknya berbeda untuk setiap zat aktif. Sawar tersebut dapat merupakan sejumlah lapisan sel (misalnya kulit), atau hanya satu sel basal (epiterl usus halus), ataupun bahkan yang berukuran lebih kecil dari sel itu sendiri (membran antar sel atau pembatas organ intraseluler seperti inti atau mitokondria). Namun sesungguhnya perbedaan tersebut merupakan satu kesatuan struktur  yang sama pada semua membran baik pada manusia, hewan ataupun tanaman.

Konsep tentang sifat alami dan struktur membran telah berkembang seiring dengan kemajuan teknik pengamatan. Misalnya adanya mikroskop elektron yang memungkinkan pemastian hal-hal yang oleh mikroskop optik tidak jelas seperti perbedaan pewarnaan atau penampakan antara dua obyek. Pada mikroskop elektron, membran sederhana tampak sebagai gambaran tiga dimensi asimetrik, tebalnya beragam antara 70 dan 100 Angstrom, terdiri atas dua lapisan yang samar dengan tebal berbeda dan ditutup oleh suatu lapisan bening.

Pengertian lipida protein alami suatu membran sebagai gabungan molekul penyusun membran telah mengalami banyak perubahan sejak Overton (1902) menemukan adanya membran lipida essensial. Penelitian Davson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli lipida protein sebagai model membran. Model membran tersebut terdiri atas dua basal lipida monomolekuler (terutama terdiri atas fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fase berair. Telah diketahui pula bahwa bahwa susunan molekuler tersebut adalah sekitar 75 Angstrom, membentuk gambaran tiga dimensi asimetrik yang diperoleh dengan mikroskop elektron. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipida yang pilar (salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globuler) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Model berlapis tersebut relatif dapat diterapkan lebih baik, dihasilkan dari penelitian baru (Simposium 1972) dan merupakan konseo nidek “mosaik cair”.

Dalam konsep mosaik cair, matriks membran terdiri atas 2 lapisan lipida protein globuler yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan, menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu urtama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom.

Gambar 2. Struktur “Mosaik” menurut Singer dan Nicholson)

 

Gambar 1. Konsep Stain dan Danielli

 

 

Difusi zat terlarut dari suatu larutan ke dalam larutan yang lainnya dapat berlangsung melalui suatu membran dengan permeabilitas tertentu yaitu permeabel untuk zat tersebut. Permeabilitas dari membran tersebut ada tiga macam, yaitu:

  1. Impermeabel (tidak permeabel), dimana air maupun zat yang terlarut di dalamnya tidak dapat melaluinya. Misalnya membran dari karet.
  2. Permeabel, yaitu membran yang dapat dilalui oleh air maupun zat-zat tertentu yang terlarut di dalamnya.
  3. Semipermeabel, yaitu membran yang hanya dapat dilalui oleh air, tetapi tidak dapat dilalui oleh suatu zat terlarut. Misalnya membran dari sitoplasma.

 

 

 

 

2.2  Mekanisme lintasan membran

Mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan membran) bersaing dalam proses perlintasan zat aktif melalui  membran, yakni filtrasi, difusi pasif “pH partisi hipotesis”, transpor aktif, difusi sederhana, transpor oleh pasangan ion. Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini hanya difusi dan jenis-jenisnya.

2.3  Pengertian Difusi

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran). Difusi molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori bergantung pada disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan membran. Sedang proses difusi perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut, serta dipengaruhi oleh ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut.

Perbedaan konsentrasi (suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah) yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara. Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida.

Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi. Ada dua jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi biasa dan difusi khusus.

Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophobic atau tidak berpolar / berkutub. Molekul dapat langsung berdifusi ke dalam membran plasma yang terbuat dari phospholipids. Difusi seperti ini tidak memerlukan energi atau ATP (Adenosine Tri-Phosphate).

Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophilic atau berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan protein khusus yang memberikan jalur kepada partikel-partikel tersebut ataupun membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini dilakukan karena partikel-partikel tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan mudah. Protein-protein yang turut campur dalam difusi khusus ini biasanya berfungsi untuk spesifik partikel.

Gambar 3. Partikel-partikel berdifusi dalam membran

 

 

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

  • Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
  • Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
  • Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
  • Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan difusinya.
  • Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.

 

 

 

2.4  Tipe Difusi

 

Awalnya konsentrasi difusan di kompartemen kiri akan turun, dan konsentrasi dikompartemen kanan naik sampai terjadi kesetimbangan

Setelah sistem berada selama periode waktu yang cukup, konsentrasi difusan pada kedua kompartemen mjd konstan thd waktu walaupun jumlahnya tidak sama

 

 

2.4 Mekanisme absorpsi

Penetrasi senyawa melalui membran dapar terjadi sebagai:

  • Difusi (pasif murni)
  • Difusi terfasilitsi (melalui pembawa)
  • Transpor aktif atau
  • Pinositosis, fagositosis, dan persorpsi.

 

Difusi pasif “pH partisi hipotesis”

Difusi pasif menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen penyususun membran. Karena ini menyangkut difusi murni, maka difusi ini tidak dapat dihambat oleh senyawa analog dan melalui blokade metabolisme. Dilihat secara kuantitatif, difusi pada pengambilan bahan ke dalam organisme terjadi terutama melalui matriks lipid. Karena itu, kelarutan senyawa yang diabsorpsi dalam lemak memegang peranan yang menonjol. Pori yang terdapat dalam membran hanya memiliki arti tertentu untuk absopsi senyawa nonelektrolit yang sukar larut dalam lemak serta senyawa yang terionisasi sempurna dengan bobot molekul rendah.

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum Fick:

V = P (Ce-Ci), P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada kedua kompartemen.

Jadi konsentrasi (C) senyawa dikedua sisi membran berpengarug pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Sesungguhnya (masalah ini dibahas lagi pada studi penyebaran obat) banyak molekul-molekul yang memberikan aktivitas terapetik, menunjukkan afinitas terhadap bahan biologis khususnya protein yang terdapat dalam suatu kompartemen. Kombinasi zat aktif-protein yang terbentuk tersebut tidak dapat berdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi: rantai protein merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran.

            Tetapan permeabilitas P tergantung pada membran dan molekul obat. Jadi persamaan difusi transmembran yang berikut ini:

V = P (Ce-Ci), dapat ditulis V =

Catatan:           D adalah koefesien difusi molekul

K adalah koefisien partisi

A dan ΔX adalah luas permukaan dan tebal membran

Jadi koefisien difusi molekul terkait dengan ukuran molekul: molekul yang ukurannya kecil akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar dan sebaliknya. Tetapi hal yang lebih penting berkaitan dengan tetapan permeabilitas adalah koefisien partisi antara fase lipida dan fase air yang terletak di kedua sisi membran. Koefisien partisi didefinisikan:

K =

Bila molekul semakin larut-lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif.

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.

Pentingnya faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “TEORI DIFUSI NON IONIK ATAU HIPOTESA pH PARTISI”.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu:

–          Tetapan disosiasi daru senyawa atau pKa (pH dimana bentuk terionkan dan bentuk tak terionkan jumlahnya sama)

–          pH cairan dimana teradpat molekul zat aktif; pH dikedua sisi dapat berbeda.

Untuk asam: pH = pKa + log

Untuk basa: pH = pKa + log

Pada setiap molekul tertentu, perjalan lintas-membran sangat berbeda oada setiap daerah saluran perncernaan, karena pH saluran cerna beragam antara 1-3,5 untuk lambung, 5-6 untuk duodenum dan ±8 pada ileum. Penyerapan efektif terutama terjadi pada bentuk yang tak terionkan yaitu zat aktif bersifat asam lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di lambung akan berkurang, namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti karena bentuk tak terionkan yang larut-lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.

pH = pKa + log

Gambar 4. Penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada penembusan transmembran dari bentuk asam lemah tak terionkan (asam asetil salisilat, pKa=3) pada setiap bagian saluran cerna.

 

 

Terori ini secara nyata diterapkan dalam penyerapan zat aktif lainnya, yaitu pada penetrasi zat aktif ke dalam tubuh, juga pada fase kinetik selanjutnya. Demikian pula pada pengobatan dengan obat-obat yang berbahaya, yang dapat melepaskan zat aktif dari tempat fiksasinya di jaringan dan peniadaannya.

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran, molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penumbusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat.

Difusi terfasilitasi (difusi sederhana)

Difusi sederhana/terfasilitasi merupakan cara perlintasan membran yang memerlikan suatu pembawa dengan karekteristik tertentu (kejenuhan, spesifik, dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi disini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Difusi sederhana bertanggung jawab terhadap penetrasi glukosa ke bagian dalam sel darah.

Gambar 5. Perlintasan membran dengan transpor sederhana

 

 

Maksudnya, pada difusi melalui pembawa (terfasilitasi), molekul hidrofil misalnya fruktosa, berikatan dengan suatu pembawa (carrier = pembawa) yang merupakan protein membran khusus. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas dalam membran, dengan demikian penetrasi zat yang ditransportasi zat yang ditranspor melalui membran  sel lipofil ke dalam bagian dalam sel dipermudah.

Apabila terjadi penetrasi melalui membran, senyawa dilepaskan lagi dari pembawa. Syarat untuk transpor pembawa ialah afinitas tertentu dari zat yang ditranspor (S) terhadap pembawa (C). pada sisi luar membran terdapat keseimbangan dinamik antara pembawa bebas, zat yang ditranspor, yang disebut juga sebagai substrat dan kompleks substrat pembawa.

Gambar 6. Struktur membran plasma; (model fluid mosaik) dalam bagan (menurut Knϋfermann)

 

Menurut pembentukan kompleks tersebut suatu landaian konsentrasi antara sisi luar dan sisi dalam dari membran, y ang merupakan gaya mendorong untuk transpor kompleks substrat-pembawa melalui membran. Karena disini tak ada energi yang dibutuhkan, difusi yang terfasilitasi serta difusi sederhana tidak dapat dihambat oleh racum metabolisme.

Sebaliknya pembawa dapat ditempati secara kompetitif oleh zat-zat yang biasanya sangat mirip dengan zat yang ditranspor. Apabila kompleks substrat-pembawa berhasil mencapai bagian dalam membran, terjadi pemisahan substrat dan pembawa. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi yang rendah dalam sitoplasma maka persamaan ikatan S+C=SC bergeser ke arah sebaliknya.

2.5  Mekanisme kerja obat (nasib obat didalam tubuh)

2.5.1   Farmasetis

Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi.

2.5.2   Farmakokinetik

  1. Absorbsi

Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.

Absobsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan absorpsi dan kuosien absorpsi (hubungan bagian yang diabsorbsi terhadap jumlah yang diberikan) bergantung kepada banyak faktor. Di antaranya yang terpenting adalah:

  • Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya,
  • Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis,
  • Sediaan obat
  • Dosis
  • Rute pemberian dan tempat pemberian
  • Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
  • Besarnya luas permukaan yang mengabsorpsi
  • Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
  • Integritas membran
  • Aliran darah organ yang mengabsorpsi

 

Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus dalam bentuk terlarut. Umumnya, kecepatan larut bahan aktif (misalnya dalam saluran cerna atau dalam tempat intamuskular) menentukan laju absorpsi. Ini ditentukan, selain oleh sifat-sifat senyawa (seperti misalnya bentuk kristal, besarnya partikel, solvatasi), ditentukan juga oleh sifat sediaan obat (antara lain bahan pembantu yang digunakan, bahan penyalut).

Pada senyawa yang sukar larut, kadang-kadang waktu yang disediakan untuk diabsorpsi tidak cukup untuk melarutkan sempurna jumlah zat yang diberikan. Walaupun demikian melalui pengecilan yang kuat (mikronisasi) dan dengan demikian memperbesar permukaan jenis, dapat dicapai peningkatan kecepatan melarut. Senyawa yang sangat lipofil seperti vitamin A, yang praktis tidak larut dalam air, mula-mula harus dilarutkan sebelum diabsorpsi dalam organisme. Suatu pelarut demikian dapat terjadi dalam usus halus, khususnya dengan bantuan garam-garam asam empedu. Senyawa yang sangat lipofil dapat diabsorpsi juga bersama dengan lipid (seperti misalnya kolesterol) sebagai kilomikron-merupakan titik-titik lemak yang terlihat secara mikroskopi dengan diameter sekitar 1 µm, titik lemak ini terbentuk pada absorpsi lemak di dinding usus, melalui saluran limfe akan sampai di darah dan bertindak sebagai pentranspor lemak yang masuk bersama makanan- kedalam sistem limfe. Disini terlibat juga garam-garam asam empedu yang aktif pada permukaan.

Pada ion anorganik, kemampuan absorpsi menurun sebanding dengan naiknya jumlah muatan dan besarnya ion. Jumlah bahan obat organik yang diabsorpsi bergantung kepada koefisien distribusi (misalnya koefisien distribusi oktanol/air): kemampuan absorpsi mula-mula naik setara dengan naiknya koefisien distribusi sampai suatu maksimum, untuk selanjutnya menurun lagi. Hal ini disebabkan terutama oleh karena senyawa hidrofil sukar dapat menembus memran lipid tidak larut dalam konsentrasi yang cukup dalam lingkungan berair, yang mengelilingi permukaan yang mengabsorpsi. Dengan demikian senyawa yang berkontak dengan permukaan absorpsi per satuan waktu tidak cukup.

Bahan obat organik asam dan basa diabsorpsi terutama dalam bentuk tak terionisasi dan demikian dalam bentuk yang larut dalam lemak. Karena derajat disosiasi bergantung kepada nilai pK senyawa dan angka pH lingkungan masing-masing, asam yang lemah diabsorpsi lebih baik dalam lingkungan asam sampai netral, basa lemah diabsorpsi lebih baik pada harga pH ≥ 7. Pengambilan senyawa amonium kuartener dan senyawa lain yang terionisasi sempurna terjadi sangat lambat dan hanya dalam jumlah kecil. Perubahan buatan harga pH, misalnya akibat antasida, dapat sangat mengubah jumlah absorpsi sebagian obat yang terdisosiasi.

 

  1. Absorpsi melalui rute bukal atau sublingual

Mukosa yang tervaskularisasi baik yaitu rongga tenggorokan (rute bukal, sublingual), memiliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa yang tak terionisasi, lipofil. Yang mengntungkan pada bentuk pemakaian ini ialah munculnya kerja yang cepat, disamping tak ada kerja cairan pencernaan dari saluran cerna dan bahan obat tidak harus melewati hati segera setelah diabsorpsi. Karena permukaan absorpsi relatif kecil, rute bukal atau sublingual hanya mungkin untuk senyawa yang dapat diabsorpsi dengan mudah dan selain itu tidak boleh mempunyai rasa tidak enak, indikasi penting ialah pengobatan serangan angin pektoris dengan nitrogliserol dalam kapsul kunyah atau sebagai aerosol.

  1. Absorpsi melalui rute oral

Pemberian oral merupajan pemberian termudah dan paling sering digunakan, absorpsi dalam saluran cerna mempunyai arti terbesar. Karena harga pH sangat asam, dalam lambung diabsorpsi terutama asam-asam lemah dan zat netral yang lipofil. Dipihak lain dapat juga terjadi lewatnya senyawa, terutama basa lemah, dari mukosa lambung ke lumen lambung.

Basa lemah terdapat, terutama tidak terionisasi, dalam plasma dan keran itu dapat berdifusi bersama dengan cairan ekstrasel melalui dinding lambung ke dalam lambung. Apabila mencapai lambung, senyawa ini sebagian besar terionisasi dalam lambung sangat kecil. Terjadi difusi ke arah lumen lambung bahkan apabila konsentrasi total senyawa dalam cairan lambung (terionisasi ditambah tidak terionisasi) lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma.

Lama pelewatan melalui lambung dan dengan demikian waktu beradanya bahan obat dalam lambung bergantung kepada kondisi pengisian dan bahan-bahan kandung lain yang tedapat dalam lambung (pengosongan cepat pada pemberian sediaan obat dalam lambung yang kosong, pembebasan yang dipercepat atau tertunda pada pemberian makanan pada waktu yang sama). Sejauh suatu obat mempengaruhi motilitas lambung atau produksi cairan lambung, waktu pelewatan dalam lambung dan dengan demikian kinetik invasi, berubah. Etanol mempercepat absorpsi senyawa yang diberikan bersamaan karena kerja preminya serta karena sifat pelarutnya.

Bahan yang peka terhadap asam harus dilindungi terhadap kerja asam cairan lambung dengan zat penyalut yang tahan terhadap asam. Usus halus merupakan organ absorpsi terpenting, tidak hanya untuk bahan makanan, melinkan untuk bahan obat juga. Peningkatan luas permukaan yang dibutuhkan untuk absorpsi yang cepat dan sesempurna mungkin dicapai melalui lipatan mukosa dan kripta mukosa serta mikrofili. Harga pH berkisar antara asam lemah dalam duodenum sampai basa lemah dalam bahian usus halus yang lebih dalam, karena itu terdapat asam lemah dalam jumlah yang cukup atau basa lemah dalam bentuk tak terionisasi dan dengan demikian dalam bentuk diabsorpsi.

Karena usus halusyang panjang, waktu pelewatan untuk pengambilan bahan-bahan yang mampu berpenetrasi umumnya cukup. Walaupun demikian, pemendekan waktu pelewatan, misalnya melalui pemberian laksansia yang bekerja terhadap usus halus atau pada diare, dapat menurunkan jumlah absorpsi. Nisbah absorpso dalam usus besar pada pokoknya secara kualitatif sebanding dengan nisbah absorpsi dalam usus halus, hanya permukaan absorpsi jauh lebih kecil karena tidak adanya jonjot dan karena itu juga kemampuan absorpsi umumya lebih rendah. Beberapa bahan obat seperti alkaloid ergot, diabsorpsi tidak baik dalam usus besar.

  1. Absorpsi pemakaian melalui rektum

Pada pemakaian melalui rektum alur melalui hati primer memamng dihindari, karena bagian yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Akan tetapi kuosien absorpsi umumnya jelas lebih rendah dari pada pemakaian secara oral dan disamping itu terdapat penyimpangan dalam individu dan antar individu.

  1. Absorpsi pemakaian melalui hidung

Mukosa hidung yang memiliki sifat absorpsi yang baik seperti mukosa mulut, cocok untuk pemakaian obat menurunkan pembengkakan mukosa secara topikal pada rinitis. Walaupun demikian perlu dipertimbangankan bahwa akibat absorpsi juga dapat terjadi efek sistemik, misalnya kenaikan tekanan darah dan takik kardia  pada bayi setelah pemakaian tetes hidung yang mengandung alfa-simpatomimetika. Absorpsi melalui mukosa hidung pada pemakaian bubuk hisap yang mengandung ADH untuk pengobatan diabetes insipidus serta pemakaian analog gonadoliberin untuk mengobati karsinoma prostata. Pada pemakaian oral. Oligopeptida akan rusak dalam saluran cerna.

  1. Absorpsi pemakaian pada mata

Pemakaian pada mata, sejauh obat harus menembus bagian dalam mata, baik struktur lipofil maupun struktur hidrofil harus ditembusi.

Epitel kornea dan endotel kornea berfungsi sebagai pembatas lipofil, sedangkan hanya zat-zat hidrofil yang dapat berdifusi melalui stroma. Dengan demikian kondisi penembusan akan sangat menguntungkan untuk obat apabila obat tersebut menunjukkan sifat lipofil dan hidrofil bersama-sama. Ini terutama terjadi pada asam lemah dan basa lemah yang sebagian dalam bentuk tak terionisasi sehingga bersifat larut dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga larut dalam air.

  1. Absorpsi pemakaian pada kulit

Absorpsi melalui kulit yang secara fisiologi tidak memiliki fungsi absorpsi, terjadi terutama transepidermal, disamping transfolikular, tapi kemampuan absorpsi melalui kulit utuh mungkin lebih rendah dibandingkan melalui mukosa.

Stratum korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang sangat sedikit (sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi dan sekaligus tandon absorpsi. Nisbah absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit dimiliki oleh zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta lemak dan minyak hanya sedikit diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorpsi kulit.

Kenaikan suhu kulit menambah kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar. Demikian juga rangsangan yang menyebabkan hiperemi atau beberapa zat pelarut seperti dimetilsulfoksid, dapat memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit meradang, jumlah absorpsi dipertinggi.

Stratum korneum dan dengan demikian sawar absorpsi dapat dihilangkan oleh kerusakan mekanis, kimia atau termal dari permukaan kulit, seperti pada cedera, melepuh atau terbakar. Selanjutnya dibuktikan perbedaan absorpsi melalui kulit yang bergantung pada usia. Pada bayi dan anak kecil, stratum korneum masuh sangat sedikit yang terbentuk, karena itu nisbah absorpsi meningkat. Pada pemakaian topikal dari salep yang mengandung glukokortikoid pada ekzem anak-anak seharusnya tidak digunakan glukokortikoid yang bekerja kuat. Demikian juga pada usia tua, kekebalan dari stratum korneum rendah (kulit keras), karena itu berlaku aturan yang sama. Kalau sampai beberapa tahun yang lalu, kulit sebagai organ absorpsi untuk obat-obat yang bekerja sistemik tak mempunyai arti yang besar, sekarang dicoba dalam ukuran yang meningkat, dengan kemajuan bentuk-bentuk sediaan yang cocok, untuk memanfaatkan kulit sebagai tempat pemberian.

Akan tetapi karena disini ketebalan kulit terbatas, hal ini hanya cocok untuk senyawa dengan dosis rendah (dosisi harian sampai 10mg), dan tampaknya pemakaian melalui kulit berguna hanya jika bahan obat yang digunakan, disamping itu menunjukkan first pass effect yang tinggi dan atau memiliki waktu paruh plasma rendah. Sebagai bentuk pemakaian, selain bentuk semprot, digunakan terutama sistem terapi transdermal. Saat ini sistem demikian dengan nitrogliserol dan skopolamin sebagai bahan aktif terdapat dalam perdagangan. Selanjutnya misalnya dengan klonidin terdapat dalam pengujian klinik.

Kerja sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pemakaian, misalnya glikokortikoid pada permukaan kulit yang luas.

Pemakaian perkuran secara luasobat yang menyebabkan hiperemi, sebagai obat gosok, pada penyakit reumatik menyebabkan sedikit hasil teurapeutik yang diinginkan.

  1. Absorpsi pada pemakaian parenteral

Pada pemberian obat secara parenteral ke dalam kulit, jaringan ikat subkutan atau ke dalam otot, kecepatan absorpsi sangat bergantung kepada pasokan darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktivitas otot bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intramuskular umumnya diabsorpsi dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri darah dengan baik, maka pada keadaan syok absorpsi sangat menurun. Pada bagian kapiler, absorpsi dipermudah oleh pori endotel. Karena dinding kapiler demikian dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorpsi yang lebih lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak, atau hidrofil dapat juga berdifusi dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa dengan bobot molekul tinggi (penyuntikan intramuskular insulin), sebaliknya makromolekul tidak mampu menembus dinding kapiler.

 

 

Pengaruh absorpsi

Sesuai dengan jenis kerja yang diinginkan, dapat dicoba untuk menaikkan, menurunkan, mempercepat atu menunda absorpsi. Pada bahan aktif yang melibatkan kerja sistemik, diinginkan absorpsi yang sedapat mungkin kuantitatif. Sebaliknya pencegahan absorpsi ditujukan kepada senyawa yang setelah diabsorpsi dapat menyebabkan kerusakan organisme. Apabila percepatan absorpsi, misalnya dengan pemberian hialuronidase secara bersamaan pada penyuntikan subkutan atau intramuskular, jarang digunakan secara terapeutik, maka penundaan absorpsi pada sediaan depot mempunyai arti khusus.

Pada larutan-larutan suntik dapat dicapai kerja depot misalnya dengan cara:

  • Melarutkan atau mensuspensi bahan obat dalam pembawa minyak
  • Penambahan makromolekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian difusi bahan obat
  • Absorpsi bahan obat pada molekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian difusi bahan obat yang larut tertunda
  • Menggunakan suspensi kristal

Pada tablet atau tablet salut, pembebasan bahan berkhasiat dapat ditunda antara melalui:

ü  Penyalutan bahan obat dengan bahan pembantu yang sukar larut

ü  Pembenaman bahan obat dalam bentuk lemak dan malam

ü  Mengikat bahan obat pada resin penukar ion.

 

  1. Distribusi

Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Konsentrasi obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui membran sel. Distribusi obat di darah, organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan sel.

  1. Biotransformasi (metabolisme)

Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi dan dulu agar dapat dikeluarkan dari tubuh. Pada azasnya, tiap obat adalah zat asing yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancer diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi. Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan mukosa intestinal.

Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase, yatiu fase pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik (reasksi oksidasi, reduksi dan hidroksi) dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi.

Metabolisme dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami metabolisme. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun intensitas aksi obat.

  1. Ekskresi

Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah elimiasi obat melalui sistem empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses. Jalur ekresi dalam jumlah sedikit adalah melalui air ludah dan air susu. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.

2.5.3        Farmakodinamik

Fase farmakodinamik merupakan terjadinya interaksi obat dengan tempat aslinya dalam sistem biologi, aksi struktur khusus obat, potensinya berhubungan dengan interaksi yang terjadi dengan struktur khusus letaknya.

Efek

Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang hanya bekerja setempat, misalnya salep.

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara :

    • Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
    • Parenteral dengna cara intravena, intramuscular dan subkutan
    • Inhalasi langsung ke dalam paru-paru

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara :

ü  Intraikular, intranasal, aural, dengan cara diteteskan pada mata, hidung, telinga

ü  Intrarespiratorial, berupa gas masuk paru-paru

 

Obat didalam tubuh

Jika senyawa makanan atau senyawa asing lainnya memasuki tubuh maka didalam tubuh akan terjadi reaksi metabolisme yang mengikat senyawa tersebut dan selanjutnya ikatan tersebut akan dilepas dengan berbagai proses alami. Prinsip yang sama juga berlaku untuk senyawa obat.

Penolakan obat dengan cara peniadaan terjadi pada molekul dengan sifat fisiko-kimia yang spesifik. Molekul yang akan dikeluarkan melalui paru harus berbentuk gas, sedangkan untuk dibuang melalui air kemih, maka senyawa harus larut air.

Jika molekul tidak memiliki gugus yang sesuai untuk ditiadakan maka molekul tersebut akan mengalami transformasi terlebih dahulu untuk selanjutnya dapat ditiadakan.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

 

Nasib obat ditentukan oleh tiga mekanisme, yakni secara farmasetis, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Dalam farmasetis obat akan mengalami proses penyesuaian isi/bahan-bahan yang sesuai dan akan membantu dalam proses pemecahan, pelarutan, penyerapan nantinya ketika obat tersebut masuk ke dalam tubuh. Sedangkan fase farmokokinetik obat akan mengalami proses ADME (Adsorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi) dan fase difusi terdapat dalam proses metabolime, bagaimana molekul zat (obat yang telah melarut kedalam pelarut/telah mengalami disolusi) akan dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas (membran polimer), sehingga mengalami perpindahan.

Perpindahan tersebut terjadi dalam dua cara, (a) difusi molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori bergantung pada disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan membran, contohnya transpor teofilin melalui membran polimer. (b) proses difusi perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut, serta dipengaruhi oleh ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut.

Kedua cara tersebut menjadi faktor penentu dalam cepat-lambatnya molekul berdifusi, selain itu kecepatan molekul berdifusi juga dipengaruhi oleh:

  • Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
  • Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
  • Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
  • Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan difusinya.
  • Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Setelah molekul obat berhasil menembus membran barulah molekul tersebut mengalami fase pengansorbsian dan akan disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Distribusi obat di darah, organ, dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan sel. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi  (metabolisme) dulu agar dapat dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Pada azasnya, tiap obat adalah zat asing yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi. Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan mukosa intestinal.

Sedangkan fase farmakodinamik merupakan terjadinya interaksi obat dengan reseptornya, sehingga dapat memberikan efek terapi yang diinginkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

–          Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB

–          Agoes, Goeswin. 2008. Seri Farmasi Industri 3: Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkendali. Bandung: Penerbit ITB

–          Izetie. http://izetie.wordpress.com/2012/03/23/bagaimana-obat-bekerja/. Diakses pada 01/06/2013.

–          Devissaguet J, Alache JM. 1993. Farmasetika 2. BIOFARMASI Edisi kedua. Surabaya: Penerbit AirlanggaUniversity Press.

–          Tranggono, Sppk., Dr. Retno Iswari dan Dra. Fatma Latifah, Apt. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

–          Pramita, Wirdah. http://pramitaseishin.blogspot.com/p/difusi-dan-osmosis.html. Diakses pada 01/06/2013.

Diposkan pada pelajaran

Obat-obatan yang mempengaruhi urin

No. Nama Obat Warna
1. Aminopirin Merah
2. Asam amino salisilat Diskolorisasi, berwarna dalam larutan hipoklorid
3. Amitriptilin Biru hijau
4. Antraquinon Kuning coklat dalam urin asam kuning  pink, merah dalam urin basa
5. Antipirin Merah-coklat
6. Azuresin Biru/hijau
7. Entakapon Kecoklatan orange
8. Enthoksazon Orange sampai orange coklat
9. Flutamid Kuning sawo/kuning hijau
10. Furazolidin coklat
11. Garam ferro hitam
12. Idarubisin merah
13. Indandion Orange merah dalam urin basa
14. Indometasin Hijau disebabkan bilirerdemia
15. Fenoftalein Pink sampai merah dalam urin basa
16. Rifampicin Kuning-merah
17. Cascara Hitam/coklat/gelap
18. Chlorquine Hitam/coklat/gelap
19. Metronidazole Hitam/coklat/gelap
20. Nitrofurantin  Hitam/coklat/gelap
21. Quinine Hitam/coklat/gelap
22. Senna Hitam/coklat/gelap
23. Triamterene Biru
24. Phenazopyridine Orange/kuning
25. Ibuprofen Merah/kuning
26. Phenytoin Merah/pink
27. Heparin Orange/kuning

 

Diposkan pada pelajaran

Obat-obatan yang mempenarhi nilai Haemoglobin

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin

Kadar Hemoglobin seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh paparan Pb(timbal), kebiasaan minum teh setiap hari setelah makan, menkonsumsi alkohol serta merokok dapat mempengaruhi kadar Hemoglobin. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kadar Hemoglobin antara lain:

1) Usia

Anak-anak, orang tua, ibu yang sedang hamil akan lebih mudah mengalami penurunan kadar hemoglobin. Pada anak-anak dapat  disebabkan karena pertumbuhan anak-anak yang cukup pesat dan  tidak di imbangi dengan asupan zat besi sehingga dapat  menurunkan kadar Hemoglobin.

2) Jenis Kelamin

Perempuan lebih mudah mengalami penurunan daripada laki-laki, terutama pada saat menstruasi.

3) Penggunaan Insulin dengan obat lain

Saat menggunakan insulin bersama obat lain, perlu diperhatikan golongan obatyang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar gula darah. Obat yang dapat menurunkan kadar gula misalnya, obat anti hipertensi (kaptropil), steroid anabolik (testoteron, nandrolone), OHO (sulfonilurea atay biguanid), Obat golongan fibrat (gemfibrozil), antidepresan, dan beberapa obat lainnya.

Obat yang dapat meningkatkan kadar gula darah misalnya obat antipsikosis (klorpromazid), kortikosteroid (prednison), antihipertensi golongan diuretik (tiazid), isoniazid (anti tuberkulosis), danazol, litium, dan obat lainnya. Penggunaan insulin dengan obat tersebut memerlukan penambahan dosis. Selain itu obat golongan hormone, misalnya estrogen dan progresteron yang terdapat pada obat kontrasepsi oral dapat mempengaruhi kadar gula darah.

4) Obat Diuretik

Kafein menyebabkan hampir seluruh pemeriksaan substrat dan enzim dalam darah akan meningkat karena terjadi hemokonsentrasi, terutama pemeriksaan hemoglobin, hitung jenis lekosit, hematokrit, elektrolit. Pada urine akan terjadi pengenceran.

5) Rokok

Merokok dapat menyebabkan perubahan cepat dan lambat pada kadar zat tertentu yang diperiksa. Perubahan dapat terjadi dengan cepat hanya dalam 1 jam dengan merokok 1 – 5 batang dan akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan kadar asam lemak, epinefrin, gliserol bebas, aldosteron dan kortisol. Perubahan lambat terjadi pada hitung lekosit, lipoprotein, aktifitas beberapa enzim, hormon, vitamin, petanda tumor dan logam berat.

6) Aktifitas fisik

Aktifitas fisik dapat menyebabkan shift volume antara kompartemen di dalam pembuluh darah dan interstitial, kehilangan cairan karena berkeringat, dan perubahan kadar hormon. Akibatnya akan terjadi perbedaan besar antara kadar glukosa darah di arteri dan vena, serta terjadi perubahan konsentrasi gas darah, asam urat, kreatinin, creatin kinase, GOT, LDH, KED, hemoglobin, hitung sel darah, dan produksi urine.

7) Alkohol

Alkohol menghambat hati melepaskan glukosa ke dalam darah seihngga kadar glukosa darah bisa turun. Bila anda mengonsumsi obat diabetes atau suntik insulin, hipoglikemia bisa timbul bila anda adalah peminum alkohol.

8) Tablet besi+obat cacing

Supplementasi tablet besi bersama obat cacing dan supplementasi tablet besi saja selama enam minggu, dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Supplementasi Fe bersama obat cacing, sama efektifnya dengan suplementasi Fe saja untuk meningkatkan kadar hemoglobin, bila intervensi diberikan selama enam minggu. Oleh karena itu sebaiknya sebelum pemberian obat cacing perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan telur cacing.

 

9) Teh

Konsumsi teh setiap hari dapat menhambat penyerapan zat besi sehingga akan mempangruhi terhadap kadar Hemoglobin.

10) Obat pengontrol hipertensi

Obat-obat yang ditelan untuk mengontrol hipertensi (tekanan darah tinggi) seperti beta blocker dan diuretic juga dapat menjadi salah satu penyebab hipotensi.

11) Obat hipotensi

Dalam kasus Hipotensi yang benar-benar diperlukan pemberian obat, biasanya ada beberapa jenis obat yang biasa dipakai seperti fludrocortisone, midodrine, pyridostigmine, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), caffeine, dan erythropoietin. Dalam kasus Hipotensi yang benar-benar diperlukan pemberian obat, biasanya ada beberapa jenis obat yang biasa dipakai seperti fludrocortisone, midodrine, pyridostigmine, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), caffeine, dan erythropoietin. Efeknya akan meningkatkan tekanan darah dan kadar Hemoglobin.

 

 

Sumber:

–          http://digilib.unsri.ac.id/download/jstf_v12_2_07_isniati090814.pdf

–          http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/faktor-faktor-pasien-yang-dapat.html

–          Tandra, Hans. 2008. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes-Tanya Jawab Lengkap dengan Ahlinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

–          http://www.salamsehat.com/efek-samping-insulin.php

–          http://www.reliance-insurance.com/phocadownload/healthcare/InfoSehat/Des2012_Hipotensi%20-%20Darah%20Rendah%20%20juli%202012.pdf

–          http://www.spesialis.info/?penanganan-penyakit-darah-rendah-(hipotensi),295

 

Diposkan pada pelajaran

Obat-obatan yang mempengaruhi nilai eritrosit dan trombosit

Obat-obatan yang menyababkan kelainan pada nilai eritrosit dan trombosit:

  • Penyebab umum anemia aplastik meliputi: Infeksi (parvovirus, HIV); beberapa obat [kloramfenikol, gold, phenytoin (Dilantin), asam valproik (Depakene, Depakote, Depakote ER, Depacon); radiasi, atau penyakit kongenital (anemia Fanconi).
  • Obat kemoterapi sering menyebabkan toksisitas tulang sumsum dan trombositopenia.
  • Trombositopenia akibat gangguan produksi trombosit sumsum tulang meliputi:
    thiazide; toksisitas alkohol jangka panjang dari penyalahgunaan alkohol; leukemia dan limfoma, kanker yang menyerang sumsum tulang, dan kekurangan vitamin B12.  Lainnya:
  1. Antibiotik sulfonamide
  2. Carbamazepine (Tegretol, Tegretol XR, Equetro, Carbatrol)
  3. Kina (Quinerva, Quinite, QM-260)
  4. Acetaminophen
  5. Golongan Quinine/Quinidine : Quinine, Quinidine
  6. Gold salts
  7. Antimony containing drugs : Stibophen, Sodium stibogluconate
  8. Antimicrobials-Cephalosporins (Cephamandazole, Cefotetan, Ceftazidime, Cephalothin)-Ciprofloxacin-Clarithromycin-Fluconazole-Fusidic acid-Gentsmicin-Nilidixic acid-Penicillin (Ampicillin, Apalcillin, Methicillin, Meziocillin, Penicillin Piperacillin)-Pentamidine-Rifampisin-Golongan Sulpha (Sulfamethoxazole, Sulfamethoxypyridazine, Sulfisoxazole)-Suramin-Vancomycin
  9. Anti-inflammatory drugs-Acetaminophen-Salicylates (Aspirin, Diflunisal, Sodium amiosalicylate, Sulfasalazine)-Diclofenac-Naproxen-Tolmetin
  10. Cardiac medications and diureticz-Digoxin, Digitaxin, Amiodarone, Procainamide, Alprenolol
  11. Benzodiazepines
  12. Anti-epileptic drug (Carbamazepine, Phenytoin, Valproic acid)
  13. H2-antagonits : Cimetidine, Ranitidine
  14. Sulfonylurea drugs (Chlorpropamid, Glibenclamide)
  15. Iodinated contrast agents
  16. Retinoids (Isotretinoin, Etretinate)
  17. Heparin-induced trombositopenia (HIT) adalah penghancuran imunologis trombosit yang dimediasi oleh penggunaan heparin (Regular unfractionated heparin, Low molecular weightheparin)dan obat-obatan terkait [heparin berat molekul rendah, yang disebut enoxaparin (Lovenox)].

 

  • Aspirin dosis rendah (dan beberapa obat lainnya) bisa mengurangi perlengketan antar trombosit sehingga tidak akan terbentuk gumpalan yang akan menyumbat arteri.
  • Antikoagulan mengurangi kecenderungan terbentuknya bekuan darah dengan cara mencegah aksi dari faktor pembekuan. Antikoagulan seringkali disebut sebagai pengencer darah, meskipun sesungguhnya tidak benar-benar mengencerkan darah. Antikoagulan yang sering digunakan adalah warfarin (per-oral) dan heparin (suntikan). Orang yang mengkonsumsi antikoagulan harus diawasi secara ketat. Pemantauan terhadap efek obat ini dilakukan melalui pemeriksaan darah untuk mengukur waktu pembekuan dan hasil pemeriksaan ini dipakai untuk menentukan dosis selanjutnya. Dosis yang terlalu rendah tidak dapat mencegah pembekuan, sedangkan dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perdarahan hebat.
  • Fibrinolitik adalah obat-obat yang membantu melarutkan bekuan yang telah terbentuk. Segera melarutkan bekuan bisa mencegah kematian jaringan jantung karena kekurangan darah akbiat penyumbatan pembuluh darah. Fibrinolitik yang biasa digunakan untuk melarutkan bekuan pada penderita serangan jantung adalah streptokinase, urokinase dan aktivator plasminogen jaringan.
  • Aspirin  dan obat artritis lainnya bisa memperburuk perdarahan karena obat tersebut mempengaruhi fungsi trombosit.
  •  Tiklopidin
  •  Obat anti peradangan non-steroid (yang digunakan untuk artritis, nyeri dan terkilir)
  •  Penisilin dosis tinggi.
  • Kerusakan prekursor yang berinti banyak didalam sumsum tulang juga dapat ditimbulkan agen-agen fisik atau kimia yang menimbulkan anemia aplastika, misal radiasi pengion atau keracunan benzen.

Obatan-obatan Yang Mempengaruhi Agregasi Trombosit

  • Antibiotik

Antibiotik yang memiliki struktur gugus β-lactam seperti penisilin dan sefalosporin, dapat mempengaruhi fungsi trombosit. Mekanismenya diduga akibat perubahan membran yang menghambat interaksi reseptor-agonist atau mempengaruhi influks kalsium.

  • Dipyridamole

Dipyridamole adalah pyrimidopyrimidine yang menghambat uptake adenosine dalam trombosit, sel endotel dan eritrosit. Hambatan ini menyebabkan peningkatan lokal kadar adenosine yang menstimulasi adenilat siklase trombosit dan meningkatkan kadar cyclic 3`,5`-adenosine monophosphate (cAMP). Peningkatan cAMP mengurangi kemampuan agregasi trombosit.

  • Fibrinolitik

Fibrinolisis dan pembentukan fibrin degradation product (FDP) berhubungan  dengan agregasi trombosit. FDP bersaing dengan fibrinogen untuk berikatan dengan  membrane trombosit dan mengganggu agregasi trombosit. Satu penelitian pada  pasien yang mendapat tenecteplase dan alteplase menunjukkan inhibisi bermakna  agregasi trombosit pada pemeriksaan agregasi. Penelitian lain yang  membandingkan reteplase, alteplase dan streptokinase, dijumpai inhibisi agregsi  trombosit pada ketiga kelompok. Pengurangan kadar fibrinogen plasma dan  gangguan ikatan fibrinogen-Gp IIb/IIIa berkorelasi dengan beratnya defek agregasi  trombosit.

  • Dextran

Pemeberian dekstran intravena dapat menyebabkan menurunnya fungsi  trombosit. Pada pasien penyakit arteri perifer, Dextran 40 mengurangi agregasi

  • Fibrinolitik

Fibrinolisis dan pembentukan fibrin degradation product (FDP) berhubungan  dengan agregasi trombosit. FDP bersaing dengan fibrinogen untuk berikatan dengan  membrane trombosit dan mengganggu agregasi trombosit. Satu penelitian pada  pasien yang mendapat tenecteplase dan alteplase menunjukkan inhibisi bermakna  agregasi trombosit pada pemeriksaan agregasi. Penelitian lain yang  membandingkan reteplase, alteplase dan streptokinase, dijumpai inhibisi agregsi  trombosit pada ketiga kelompok. Pengurangan kadar fibrinogen plasma dan gangguan ikatan fibrinogen-Gp IIb/IIIa berkorelasi dengan beratnya defek agregasi  trombosit.

  • Dextran

Pemeberian dekstran intravena dapat menyebabkan menurunnya fungsi trombosit. Pada pasien penyakit arteri perifer, Dextran 40 mengurangi agregasi

  • Thienopyridines

ADP berikatan dengan reseptornya P2Y1 dan p2Y12. Reseptor P2Y12 adalah reseptor primer ADP yang memperantarai ikatan fibrinogen dan respon agregasi. Thienopyridines, ticlopidine dan clopidogrel secara irreversible mengikat reseptor ini dan menghambat agregasi trombosit.

  • Antagonis GpIIb-IIIa

Antagonis GpIIb-IIIa berikatan dengan reseptor GpIIb-IIIa (integrin αIIbβ3) dan mencegah ikatan fibrinogen atau VWF pada trombosit. Eptifibatide, abciximab dan tirofiban menghambat agregasi trombosit dengan semua agonis (ADP, kolagen, TRAP).

 

 

Daftar Pustaka

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24560/4/Chapter%20II.pdf. 25/10/2013

http://medicalera.com/3/25377/trombositopenia#.Um0hEnA5llA. 25/10/2013

http://ridwananalis.wordpress.com/2012/08/13/makalah-trombosit/. 25/10/2013

http://darah-medis.blogspot.com/2012/10/kelainan-pendarahan.html. 25/10/2013

http://ziifauzii.wordpress.com/category/trombosit/. 25/10/2013

Diposkan pada pelajaran

Laporan Analgetik-adanya laporan ini, untuk jadi referensi dan dipahami bukan Copy paste lalu selesai!

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1  Latar Belakang

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, berhubungnan dengan adanya potensi kerusakan jarinngan atau kondisi yang menggambarkan kerusakan tersebut, sehingga dapat menjadi penanda ada tidaknya kelainan atau penyakit pada organ yang mengalami nyeri tersebut. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.

Adapula obat yang dapat digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, dan akhirnya memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita disebut dengan analgetik. Analgetik juga merupakan zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghalangi kesadaran. Analgetik terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan narkotik dan non narkotik (antiinflamasi non steroid-AINS). Untuk melihat hubungan dosis-respon pereda nyeri, maka dilakukan praktikum ini.

 

1.2  Tujuan Praktikum

  • Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesik suatu obat
  • Mampu mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibat pemberian berbagai dosis analgetika
  • Mampu membuat kurva hubungan dosis-respon

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

 

2.1 Rasa Nyeri

Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri yang dimilliki setiap orang berbeda-beda. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-450 C. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum.

Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis,  apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan jaringan lainnya. Nouceptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang sangat banyak melalui sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls dilanjutkan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.

Adapun mediator nyeri yang disebut juga autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, lekotrien dan prostaglandin. Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstan.

Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Adapun mediator nyeri yang disebut juga sebagai autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, leukotrien dan prostglandin2.

 

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1)      Fase antisipasi—–terjadi sebelum nyeri diterima.

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena  fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinnkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

Contoh: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi.

2)      Fase sensasi—–terjadi saat nyeri terasa.

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upay pencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan  gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3)      Fase akibat (aftermath)——terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Ada lima klasifikasi dan jenis nyeri:

  1. Nyeri akut, yang dapat ringan, sedang, atau berat
  2. Nyeri kronik
  3. Nyeri superfisial
  4. Nyeri somatik (tulang, otot rangkam dan sendi)
  5. Nyeri viseral, atau nyeri dalam.

 

2.2     Analgesik

Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa meghalangi kesadaran.  Analgesik, baik nonnarkotik maupun narkotik, diresepkan untuk meredakan nyeri. Nyeri yang ringan sampai sedang dari otot rangka dan sendi seringkali diredakan dengan pemakaian analgesik nonnarkotik. Nyeri yang sedang sampai berat pada otot polos, organ, dan tulang biasanya membutuhkan analgesik narkotik.

  1. Analgesik nonnarkotik

Analgesik nonnarkotik tidak bersifat adiktif dan kurang kuat dibandingkan dengan analgesik narkotik. Obat-obat ini dipakai untuk mengobati nyeri yang ringan sampai sedang dan dapat dibeli bebas. Obat-obat ini efektif untuk nyeri tumpul pada sakit kepala, dismenore (nyeri menstruasi), nyeri pada inflamasi, abrasi minor, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang. Kebanyakan dari analgesik menurunkan suhu tubuh yang meningkat, sehingga mempunyai efek antipiretik. Beberapa analgesik seperti aspirin, mepunyai efek antiinflamasi dan juga anti koagulan.

Obat analgesik antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs).

Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis Prostaglandin ini mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu.Setiap obatmenghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.

Prinsip pengujian efek analgetik secara eksperimental pada hewan percobaan adalah mengukur kemampuan obat untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensasi nyeri yang ditimbulkan secara eksperimental, yang timbul dengan cara-cara fisik ataupun cara-cara kimia.Metode yang digunakan pada percobaan kali ini adalah metode jentik ekor (Tail Flick) dan metode pelat panas (Hot Plate).

  1. Analgesik narkotik

Analgesik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Toleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis. Karena dapat menimbulkan ketergantungan, obat golongan ini penggunaannya diawasi secara ketat dan hanya untuk nyeri yang tidak dapat diredakan oleh AINS.

Analgesik narkotik, disebut juga agonis narkotik, diresepkan untuk mengatasi nyeri yang sedang sampai berat. Di Amerika Serikat, Undang-Undang Narkotik Harrison tahun 1914, menyatakan bahwa semua bentuk opium harus dijual dengan resep dan tidak dapat lagi tanpa resep. Undang-Undang Substansi yang Dikontrol tahun 1970 mengklasifikasikan obat-obat yang dapat menimbulkan adiksi ke dalam lima kategori berdasarkan potensinya untuk penyalahgunaan.

Analgesik narkotik bekerja terutama pada sistem saraf pusat, sedangkan analgesik nonnarkotik bekerja pada sistem saraf tepi pada tempat reseptor nyeri. Narkotik tidak hanya menekan rangsanga nyeri tetapi juga menekan pernapasan dan batuk pada medulla di batang otak. Salah satu contoh dari narkotik adalah morfin, yang merupakan analgesik kuat yang dapat dengan cepat menekan pernapasan. Kodein tidak sekuat morfin, tetapi dapat meredakan nyeri yang ringan sampai sedang dan menekan batuk. Kodein juga dapat diklasifikasikan sebagai penekan batuk (antitusif). Banyak narkotik mempunyao efek antitusif dan antidiare, selain dari kemampuannya meredakan nyeri.

Nyeri minimal disebabkan oleh dua hal, yaitu iritasi lokal (menstimulasi saraf perifer) dan adanya persepsi (pengenalan)nyeri oleh SSP. Pengenalan nyeri bersifat psikologis terhadap adanya nyeri lokal yang disampaikan ke SSP. Analgetik narkotik mengurangi nyeri dnegan menurunkan persepsi nyeri atau menaikkan nilai ambang rasa sakit. Analgetik narkotik tidak memengaruhi saraf perifer, nyeri tetap ada tetapi dapat diabaikan atau pasien dapat mentolerirnya. Untuk mendapatkan efek yang maksimal analgetik narkotik harus diberikan sebelum nyeri yang hebat datang, seperti sebelum tindakan bedah.

Semua analgetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat, tetapi potensi, onzet, dan efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif maupun kuantitatif. Efek sampingnya yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan hipotensi serta depresi pernapasan. Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih digunakan di Indonesia:

– morfin HCl

– kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol)

– fentanil HCl

– petidin, dan

-tramadol

Khusus untuk tramadol secara kimiawi memang tergolong narkotika tetapi menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan menimbulkan ketergantungan kecil.

Perbedaan analgetik nonnarkotik dan narkotik

No. Analgetik nonnarkotik Analgetik narkotik
1. Menghilangkan nyeri ringan sampai sedang Menghilangkan nyeri ringan sampai hebat
2. Secara kimia bukan steroid Secara kimia steroid (turuna opium)
3. Menghambat Cox1 ­dan Cox2 Tidak menghambat Cox1 ­dan Cox2
4. Tidak menyebabkan toleransi/ ketergantungan fisik pada pemakaian jangka panjang. Menimbulkan toleransi/ ketergantungan fisik pada pemakaian jangka panjang.
5. Bekerja di perifer dengan menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator timbulnya rasa nyeri Bekerja di pusat rasa nyeri yaitu melalui reseptor opioid
6. Merupakan senyawa heterogen karena struktur kimia senyawa NSAID berbeda-beda. Contoh aspirin dengan asetaminofen, asam mefenamat dengan ibuprofen mempunyai struktur yang berbeda Meerupakan senyawa homogen karena merupakan golongan narkotika kecuali tramadol
7. Efek samping penggunaan jangka panjang dapat merangsang sekresi asam lambung dan  menurunkan aliran darah ke ginjal Efek samping akibat penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan konstipasi karena di saluran pencernaan juga terdapat reseptor opioid yaitu reseptor σ, Ƙ, µ

 

 

 

2.3 Tramadol

Tramadol adalah analog kodein sintetik yang meruapakan agonis reseptor μ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau mepedrin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan mepedrin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonates.

Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Afinitas terhadap reseptor μ hanya 1/6000 morfin, akan tetapi metabolit utama hasil demetilasi 2-4 kali lebih poten dari obat induk dan berperan untuk menimbulkan efek analgetiknya. Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif dari masing-masing enansiomernya.Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor μ dan menghambat ambilan serotonin.Enansiomer (-) menghambat ambilan norepinefrin dan merangsang reseptor α2– adrenergik. Tramadol mengalami metabolism di hati dan eksresi oleh ginjal,dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam stetelah penggunaaan secara oral, dan mencapai puncak selama 2-3 jam. Lama analgesia selama sekitar 6 jam. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.

Efek samping yang umum terjadi adalah mual, muntah, pusing, sedasi, mulut kering, dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein. Tramadol dapat meyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi. Analgesia yang ditimbulkan oleh tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.

 

2.4 Dasar-dasar Kerja Obat

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. proses tersebut dinyatakan sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.

 

Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantunng pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Jumlah obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang menentukan bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.

Faktor-faktor tersebut antara lain :

  1. cara preparasi dan bentuk sediaan
  2. ukuran molekul
  3. kelarutan molekul dalam lipid : yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya lebih tinggi
  4.  kelarutan dalam air dan lipid : yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat baik; yang larut hanya dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah terdisosiasi.
  5. transport aktif
  6. interaksi dengan makanan atau obat lain
  7. stabilitas di dalam usus
  8. pengosongan lambung
  9.  adanya metabolisme dalam usus dan di dalam hati
  10. Faktor individu pasien itu sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien.
  11. Derajat ionisasi
  12. Dosis dan waktu pemberian obat
  13. pH dan pK
  14. luas permukaan absorpsi
  15. aliran darah

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aksi Obat

1.      Berat badan

2.      Umur

3.      Jenis kelamin

4.      Kondisi patologik pasien

5.      Genetik (Idiosinkrasi)

6.      Cara pemberian obat :

  • Yang memberikan efek sistemik : – oral; sublingual; bukal;-parenteral;- implantasi subkutan; rektal;
  • Yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal (pada kulit): salep, krim , lotion ; – obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga.

Kebanyakan obat merupakan electrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa lemah, pH yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan oabt0obat yanng strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif memerlikan membran agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.

Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri.

Untuk mencapai sel target, suatu obat harus dapat menembus sawar biologic, dapat berupa membrane yang terdiri atas satu atau beberapa sel. Pada sawar darah otak, obat-obatan yang larut dalam air sulit melewatinya dan pada sawar plasenta hanya obat-obatan dengan BM besar (seperti heparin, plasma sekunder) sukar masuk fetus.

Oleh karena molekul protein plasma cukup besar, maka hanya fraksi obat bebas saja yang mempunyai arti klinis, karena bagian tersebut yang dapat mencapai reseptor pada organ sasaran (termasuk bakteri). Protein plasma yang berikatan dengan molekul obat terutama adalah albumin(A), disamping itu protein lain juga berperan, misalnya alfa amino globulin (AAG) dan lipoprotein (LP) pada keadaan tertentu.

Eliminasi
Proses eliminasi bertanggung jawab atas durasi atau lamanya obat berefek dengan cara mengusahakan agar obat dapat segera dikeluarkan dari tubuh, temasuk ke dalam alat eksresi seperti ginjal, hati dan paru. Agar obat mudah dieksresi, kadang-kadang obat harus diubah lebih dahulu menjadi senyawa lain yang bersifat tidak mudah larut dalam lemak baru dieksresi. Proses metabolisme dan eksresi secara merupakan proses eliminasi.

Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan struktur perubahan kimia yang tejadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada poses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan kurang larut dalam lemak sehingga mudah dieksresi melalui ginjal.

Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan lain-lain. Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam hati tidak mengalami peubahan atau hanya sebagian yang diubah. Hal tesebut menyebabkan efek obat berlangsung lebih lama dan obat menjadi lebih toxic.

Metabolisme obat di hepar terganggu oleh adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis kaena pada keadaan-keadaan tesebut terjadi kerusakan sel parenim hati serta enzim-enzim metabolismenya. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolism di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan alir darah hepar, baik oleh obat maupun gangguan kardiovaskular, akan mengurangi metabolisme obat di hati.

Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit yang polar diekskresi lebih cepat daripada obat yang larut baik dalam lemak, kecuali pada eksresi melaui paru-paru.

Ginjal merupakan organ eksresi yang terpenting. Metabolit yang larut dalam air sukar direabsorpsi oleh tubuli ginjal, sehingga akan dikeluarkan bersama-sama urine. Sebaliknya, obat yang mudah laut dalam lemak jika sudah berada dalam tubuli ginjal sebagian besar direabsorpsi oleh tubuli ginjal. Obat yang tidak dapat difiltasi oleh glomerulus bisa disekresi oleh ginjal melalui sekresi tubulus. Jadi proses eliminasi oleh ginjal (ekskresi) meupakan hasil dari proses-proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus. Bila fungsi ginjal rusak sedangkan obat harus dikeluarkan melalui ginjal maka eksresinya tidak sempurna dan memudahkan terjadinya keracunan. Hasil ekskresi dapat berupa urine, air ludah, air susu, air mata, keringat dan lain-lain

 

2.5 Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit binding site ) disebut antagonis.

  1. Obat berikatan dengan reseptor

Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor.

Sebagian besar reseptor adalah protein karena struktur polipeptida memberikan perbedaan corak dan kekhususan yang diperlukan dari bentuk dan muatan listrik. Reseptor obat yang paling baik adalah protein regulator, yang menjembatani kerja dan sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti: neurotransmitter, autacoids, dan hormone. Kelompok reseptor ini menjembatani efek dari sebagian besar agen terapeutik yang paling bermanfaat. Struktur molekuler dan mekanisme biokimia reseptor regular ini menggunakan lima mekanisme dasar sinyalisasi transmembran yang masing-masing menggunakan strategi/ pendekatan yang berbeda untuk menghindari halangan yang disebabkan oleh dua lapisan lemak (bilayer lipid) membran plasma. Strategi pendekatan ini menggunakan:

  1. Ligan (senyawa kimia) larut lemak yang melintasi membrane dan bekerja pada reseptor intraseluler (yang mungkin adalah enzim atau pengatur transkripsi gen).
  2. Protein reseptor transmembran yang aktivitas enzimatik intraselulernya diatur secara allosterical oleh ligan yang terikat pada tempat di domain ekstraseluler protein. Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler protein transmembran, sehingga mengaktifkan aktivitas enzimatis domain sitoplasmiknya.
  3. Reseptor transmembran yang mengikat dan menstimulasi protein tyrosine kinase.
    Sinyal tersebut terikat pada domain ekstraseluler reseptor transmembran yang terikat pada protein kinase tyrosine, yang diaktifkannya.
  4. Kanal ion transmembran yang ligand-gated, yaitu kanal ion yang pembukaan/ penutupannya dapat diinduksi oleh ligan yang terikat pada reseptor kanal ion tersebut. Sinyal tersebut terikat dan langsung mengatur pembukaan saluran ion.
  5. Protein reseptor transmembran yang menstimulasi transduktor yang memberi sinyal setelah berikatan dengan GTP (protein G) yang kemudian menimbulkan pembawa pesan kedua. Sinyal tersebut terikat pada reseptor permukaan sel yang dihubungkan pada enzim efektor oleh protein G.

Kelompok protein lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga termaasuk enzim, yang mungkin dihambat (atau, yang kurang umum, diaktifkan) dengan mengikat obat (misalnya dihydrofolate reductase, reseptor untuk obat antikanker methotrexate), protein pembawa (transport protein) (misalnya, Na+/ K+ ATPase, reseptor membran untuk digitalis, glycoside yang aktif pada jantung) dan protein structural (misalnya, tubulin, reseptor untuk colchicine, agen antiinflamasi). Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen hidrofobik, van der walls, atau kovalen , tetapi umumnya merupakan campuran dari berbagai ikatan di atas.

Konsep reseptor ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting untuk perkembangan obat dan pengambilan keputusan terapeutik dalam praktek klinik.

  1. Pada dasarnya reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek farmakologi: afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk kompleks obat- reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat.
  2. Reseptor bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat : ukuran, bentuk dan muatan ion elektrik molekul obat menentukan apakh-dan dengan kecocokan/kesesuaian yang bagaimana- molekul itu akan terikat pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan yang secara berbeda. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara dramatis/ mencolok dapatmenaikan atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap gollongan-golongan reseptor yang berbeda, yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam efek terapi dan toksiknya.
  3. Reseptor- reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi: efek antagonis di dalam tubuh pasien bergantung pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya. Beberapa obat bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam pengibatan klinik.

Spesifisitas dan Selektivitas

Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjabya terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan sendirinya tidak selektif.

B. Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor

-Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran

-Perubahan sifat osmotik

-Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretic.

-Perubahan sifat asam/basa

Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.

-Kerusakan nonspesifik

Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan kontrasepsi. contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.

-Gangguan fungsi membrane

Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.

-Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion

Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.

-Masuk ke dalam komponen sel.

Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

2.6 KONSENTRASI DAN RESPON OBAT

Hubungan antara konsentrasi obat dan respon obat, respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek oabat digambarkan dengan kurva hiperbolik menurut persamaan sebagi berikut:

E= di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah respons maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek maksimal.

Hubungan antara konsentrasi dan efek obat (panel A) atau obat yang terikat reseptor (panel B). Konsentrasi obat yang efeknya separuh maksimum disebut EC50 dan konsentrasi obat yang okupansi reseptornya separuh maksimum disebut KD.

Hubungan dosis dan respons bertingkat

  1. Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
  2. Potensi.Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang lebih besar.
  3. Slope kurva dosis-respons. Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar.

 

 

 

 

BAB III

METODELOGI PRAKTIKUM

3.1  Alat dan Bahan

  • Mencit 2 ekor
  • Taramadol 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB
  • Timbangan hewan
  • Alat suntik
  • Alat untuk pengujian
  • Stopwatch

3.2  Prosedur pengerjaan

  1. Metode hot plate

Rangsang nyeri yang digunakan berupa lantai kandang yang oanas (550-560). Rasa nyeri panas pada kaki mencit menyebabkan respon mengangkat kaki depan dan dijilat. Rata-rata hewan mencit akan memberikan respon 3 sampai 6 detik.

  1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat
  2. Sebelum pemberian obat catat dnegan menggunakan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk mengangkat dan menjilat kaki depannya sebagai waktu respon, catat sebagai respon normal atau respon sebelum perlakuan
  3. Suntikkan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit
  4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 45 setelah pemberian obat
  5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap
  6. Gambarkan suatu kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulasi nyeri.
  7. Metode tail flick

Rangsang nyeri digunakan dalam metode ini berupa air panas dengan suhu 500C dimana ekor mencit dimasukkan kedalam air panas akan merasakan nyeri panas dan ekor dijentikkan keluar dari air panas tersebut

  1. Timbang masing-masing mencit, beri nomor, dan catat
  2. Sebelum pemberian obat catat dengan stopwatch waktu yang diperlukan mencit untuk menjentikkan ekornya keluar dari air panas. Tiap rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali selang 1 menit. Pengamatan pertama diabaikan, hasil pengamatan terakhir dirata-ratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus.
  3. Suntikkan secara intra muscular kepada masing-masing mencit obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit.
  4. Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, dan 45 setelah pemberian obat. Jika mencit tidak menjentikkan ekornya keluar air panas dalam waktu 10 detik, maka dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus tersebut
  5. Buatlah tabel hasil pengamatan dengan lengkap
  6. Gambarkan suatu kurva hubungan amtara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

 

3.3  Hasil Praktikum

  1. Perhitungan dosis

Metode Hot Plate

Kel II à VOA =  0,028 ml

Kel IV à VOA =  = 0,064 ml

Kel V à VOA =  = 0,081 ml

Metode Jentik Ekor (Tail Flick)

Kel II à VOA = = 0,032 ml

Kel IV à VOA = = 0,050 ml

Kel V à VOA =  0,090 ml

  1. Pengamatan pada mencit kelompok II

Metode Hot Plate

Mencit BB (kg) Dosis (VAO) Pengamatan
Sebelum 5’ 15’ 30’ 45’
Kel II 0,028 kg 0,028 ml 1,26” 0,8” 1,41” 1,32” 1,14”
Kel IV 0,032 kg 0,064 ml 1,03” 5” 3,3” 3,6” 7”
Kel V 0,027 kg 0,081 ml 2, 12” 3,46” 4,73” 3,99” 2,94”

 

 

 

 

Metode Jentik Ekor (Tail Flick)

Mencit BB (kg) Dosis (VAO) Pengamatan
Sebelum 5’ 15’ 30’ 45’
Kel II 0,032 kg 0,032 ml 3,3” 3,1” 4,8” 6,5” 7,5”
Kel IV 0,025 kg 0,050 ml 6” 5,3” 9” 29” 12”
Kel V 0,030 kg 0,090 ml 1,8” 2,77” 4,7” 4,58” 5,04”

 

Kurva Metode Hot Plate                                        Kurva Metode Tail Flick

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.4   Pembahasan

Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian efek analgetik pada hewan percobaan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan obat dalam hal ini, obat yang digunakan adalah tramadol dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensari nyeri. Untuk memberikan sensasi nyeri, ditimbulkan secara eksperimental dengan 2 prosedur, yakni secara Hot plte dan Tail flick. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit.

Tramadol adalah salah satu obat anagetik (mirirp morfin) yang bekerja secara sentral pada SSP sehingga memblok sensasi rasa nyero dan respon terhadap nyeri. Disamping itu, juga menghambat pelepasan Neuritransmitter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsangan, akibatnya impuls nyeri terhambat. Parameter yang digunakan dalam pengamatan ini adalag waktu ketahanan mencit terhadap stimulasi panas yang dihasilkan dengan metode hot plate dan tail flick. Pada nyeri neuropati akan timbul gejala hiperalgesia, yang ditunjukan dengan penurunan waktu ketahanan pada mencit terhadap stimulasi panas yang diberikan. Tramadol mempunyai dua mekanisme yang berbeda pada menejemen nyeri yang keduanya bekerja secara sinergis, yaitu: tramadol mempunyai bioavailabilitas 70% sampai 90% pada pemberian oral, serta dengan pemberian dua kali sehari dapat mengendalikan nyeri secara efektif.

Pada metode hot plate dengan dosis 50 mg/kg BB, mencit tidak merasakan kehilangan rasa nyeri yang berarti dari keadaan normalnya dengan setelah diberikan obat tidak ada perbedaan signifikan pada respon nyerinya. Seharusnya setelah diberi obat respon nyeri lebih lama dirasakan mencit dari pada sebelum pemberian obta. Tetapi yang terjadi adalah kurva tidak teratur dan respon lebih cepat dari keadaan normalnya. Untuk dosis 100 mg/kg BB, menit ke 5 dan 45 terjadi penundaan respon nyeri tetapi anehnya ketika menit ke 15 dan 30 kurva malah turun/lebih cepat respon nyeri yang dirasakan mencit. Seharusnya mencit kehilangan respon nyeri pada menit-menit awal misal menit ke 5 sampai menit ke 30, tetapi dimenit ke 45 kecepatan respon harus meningkat karena efek kerja obat sudah hilang. Hal tersebut cocok untuk dosis 150 mg/kg BB, dari keadaan normal sampai setelah pemberian obat terjadi perlambatan respon nyeri. Paling tinggi/paling lama respon nyeri diberikan adalah pada menit ke 15, tetapi ketika menit ke 30 dan 45, respon nyeri mulai cepat, hal tersebut menandakan efek obat hanya bertahan 15 menit.

Pada metode tail flick dengan dosis 150 mg/kg BB, kurva (jika dianilisis dari kurva) berjalan naik terus yang berarti kecepatan respon nyeri terus melambat dari keadaan sebelum diberikan obat, hanya pada menit ke 30 respon menjadi cepat. Mungkin hal tersebut disebabkan kesalahan respon terjadi lebih cepat dari pada keadaan sebelum diberikan obat, setelahnya respon terus melambat hingga menit ke 30, pada menit ke 45 respon menjadi cepat, yang menandakan efek obat mulai berkurang. Sedangkan kenaikan respon pada menit ke 5 bisa disebabkan obat yang belum bekerja, praktikan yang salah dalam pengamatan,  atau panas pada hot plate terlalu panas (tidak sama panas yang digunakan dalam percobaan yang satu dengan yang lainnya). Untuk dosis 50 mg/kg BB respon terus melambat.

Kurva yang tepat adalah yang mengalami masa puncak lau turun (bentuk seperti segitiga) hal tersebut menandakan obat bekerja dengan baik didalam tubuh, awal kerja terus terjadi peningkatan, setelah termetabolisme didalam tubuh obat mengalami eliminasi sehinga efek obat perlahan menurun hingga hilang sama sekali. Untuk efek yang tidak stabil bisa saja disebabkan kesalahan praktikan dalampengamatan, panas pada hot plate dan gelas ukur berisi air yang tidak stabil, mencit yang resisten terhadap obat, dll.

Hubungan dosis-respon adalah berbading lurus dengan intensitas efek obatnya. Semakin besar dosis yang diberikan semakin cepat obat memberikan efek, karena obat yang didistribusikan lebih banyak sehingga banyak obat yang menduduki reseptor. Namun, obat yang dosisnya terlalu besar dapat mendekati atau malah telah berubah menjadi toksik didalam tubuh, sedangkan dosis obat yang terlalu kecil tidak akan memberikan efek terapi yang berarti, karena obat yang didistribusikan terlalu sedikit sehingga tidak cukup banyak menduduki reseptor yang ada. Hal ini dijelaskan pada praktikum ini dengan perbandingan yang berbeda-beda. Obat dengan dosis 50 mg/kg BB lebih sedikit atau tidak terlihat sama sekali telah memberikan efek pada mencit, sedangkan obat dengan dosis 100 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB lebih cepat dan terlihat memberikan efek menghilangkan nyeri pada mencit.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN

  1. Tramadol termasuk golongan obat analgetik narkotik/opioid
  2. Efek obat yang diberikan kepada mencit berbeda-beda, tergantung dosis yang diberikan, karena intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang didudukinya.
  3. Rata-rata analgetik  menghasilkan efek analgetik yang sempurna dimenit 30, diatas meint 30 efek analgetik sudah mulai berkurang (pada percobaan)
  4. Semakin besar dosis obat yang diberikan, efek analgetik semakin lama atau besar, tetapi dapat pula menimbulkan toksik, maka pemberiannya harus terus melalui pemantauan.
  5. Respon nyeri tiap mencit berbeda karena faktor genetik mencit, kondisi fisik, tingkat stress mencit, dan perbedaan dosis.
  6. Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:

Impuls nyeri à medula spinalis à batang otak & talamusà Sistem syaraf otonom à Respon fisiologis & perilaku

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/07/gg.html#ixzz2iXAzgCX8.23/10/2013

http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/20/respon-terhadap-nyeri/.23/10/2013

http://4uliedz.wordpress.com/category/farmakologi/.23/20/2013

Priyanto, L. Batubara. 2008. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan, edisi II. Depok: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (Lenskofi)

Anonim. 1999. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Jakarta: Depkes RI

mi.scribd.com/doc/3980055/laporan-praktikum-farmakologi. 18/10/2012

faridaudhughdamen-curcol.blogspot.com/2012/09/analgetik.html. 18/10/2013

dho-e.blogspot.com/2012/01/analgesik-antipiretik-dan-nsaid.html. 18/10/2013

id.scribd.com/doc/39180055/LAPORAN-ANALGETIK-DAN-HUBUNGAN-DOSIS-RESPON#download.18/10/2013.

 

Diposkan pada , motivation self-help story

katanya, bersaudara

Katanya merasa sakit itu persaudaraan, katanya sama-sama merasa bahagia itu persaudaraan. Tapi kenapa saudara yang banyak kulihat kini adalah membicarakan, seperti angin yang datang ketika panas. Menyejukkan yang kepanasan, yang terlena akan hanyut dan melupakan waktu.

Kalian bergosip hingga lupa ketika waktu berlalu bersama pembicaraan kalian, saat itu pula kebaikan kalian luntur. Tak bersisa.

Bisakah kalian mengingat waktu yang telah kalian lalui bersama berapa banyak kebaikan yang telah dan akan kalian ciptakan? Sebelum membicarakan “off the record” bukankah pernah ada kebahagiaan yang pernah kalian lalui bersama? Bukankah lebih indah jika pembicaraan itu kalian ganti dengan “meringankan tangan”. Gunjingan itu sebenarnya berasal dari ketidakmampuan kalian “membantu” bukan?

Sungguh kasihan, yang menyebut dirinya bersaudara tapi mulutnya cuma buaya..

 

 

Semoga Kita Semakin Memperbaiki Diri. Saling Mengingatkan yaaa 😀

Diposkan pada

“serangan kupu-kupu”

Hati ini membiru juga beku begitu ku dengar namamu…

Rupawan sudah elok wajah, tingkahmu

Berapa lagi yang mesti kutingkatkan untuk setara denganmu?

Masa apalagi yang harus ku lewati untuk bisa mengejarmu?

Yang ku tahu aku disini dan kau disana.

Mungkin lebih baik kupu-kupu itu kulepas, agar tidak adalagi “serangan kupu-kupu”

Mungkin esok, lusa, atau tidak sama sekali pertemuan itu akan ada, cukup biru….

Diposkan pada motivation self-help story

Polling Anugerah Pembaca Indonesia 2013: Longlist Tahap II

You should Vote It dear reader 😀

Festival Pembaca Indonesia 2021

Polling berikut diadakan oleh panitia Anugerah Pembaca Indonesia 2013 untuk menentukan siapa pemenang buku terfavorit, penulis terfavorit, dan perancang sampul terfavorit berdasarkan jumlah polling terbanyak. Penganugerahan ini merupakan salah satu mata rangkai acara dalam Festival Pembaca Indonesia 2013 untuk memberi apresiasi dan rasa terima kasih pembaca kepada insan-insan yang telah terlibat dalam dunia perbukuan di Indonesia.

Polling Longlist Tahap II ini akan dibuka sejak tanggal 11 sampai dengan 17 November 2013. Kemudian polling akan dilanjutkan dengan Shortlist yang merupakan nominasi paling akhir untuk menentukan yang paling terfavorit dari masing-masing kategori.

Polling Longlist Tahap II ini merupakan polling baru di mana pembaca dapat tetap memberikan suaranya, termasuk yang sudah melakukan vote pada Polling Longlist Tahap I.

Lihat pos aslinya 18 kata lagi